Tadi siang, dalam perjalanan menuju Banyuwangi. Saya shalat jum'at di Mesjid Nurul Hikmah, Desa Pemuteran di Bali Utara bagian barat.
Untuk ukuran desa kecil seperti Pemuteran yang tak lebih ramai dari Temung Penanti, kampung ibu saya. Tampilan Mesjid Nurul Hikmah terbilang megah. Mesjid berasitektur Turki ini berkubah beton dan berlantai keramik. Tempat wudhuknya juga berlapis keramik. Bukan hanya satu, ada dua tempat wudhuk. Satu di bagian depan mesjid dan yang lain ada di bagian belakang.
Tampilan mesjid ini tidaklah seperti ini sejak adanya.
Tiga belas tahun yang lalu. Saya pertama kali mengunjungi desa ini. Waktu itu bulan Ramadhan. Saya tidak tahu jadwal pasti berbuka puasa di sini. Sambil berjalan-jalan menikmati suasana desa ini. Karena melihat ada banyak perempuan berjilbab dan laki-laki bersarung dan berkopiah. Saya yakin di sekitar sini tentu ada mesjid dan sayapun bertanya pada penduduk setempat. Mereka menunjukkan tempat ini.
Waktu itu, namanya belum Mesjid melainkan mushalla Nurul Hikmah. Bangunan mushalla ini berbentuk panggung berukuran 3,5 x 3,5 meter persegi, seluruhnya terbuat dari papan kayu dengan atap genteng tanah liat dan kubah kecil aluminium sebagai penanda kalau bangunan ini adalah tempat ibadah umat Islam.
Ketika azan berkumandang, saya minum dari air dalam kemasan yang saya bawa sendiri. Berbeda dengan mesjid dan mushalla lain di Bali. Di Mushalla ini tak ada acara buka puasa bersama yang menyediakan hidangan berbuka pada para musafir yang berbuka di sana. Keadaan di mushalla ini adalah gambaran umum desa Pemuteran itu sendiri. Sebuah desa miskin yang kering di ujung barat bagian utara pulau Bali.
Di masa Bali masih berbentuk kerajaan. Karena posisinya yang jauh dari empat danau yang merupakan sumber air yang menghidupi Bali. Daerah ini tidak dihuni. Meski tempat ini menyimpan potensi besar untuk perikanan. Tapi bagi masyarakat Bali tempat ini sama sekali tidak menarik untuk ditinggali.
Sebab masyarakat Bali secara umum mata pencaharian utamanya bertani, secara lebih khusus lagi mengusahakan sawah. Meski ada satu dua yang menjadi nelayan, tapi mereka sangat minoritas. Karena itulah di desa ini banyak dihuni oleh warga etnis Madura yang memang akrab dengan laut.
Orang Bali baru pindah ke daerah ini pasca meletusnya gunung Agung di tahun 1963, akibat desa mereka di bagian timur pulau, hancur tertutupo material vulkanik.
Di tempat ini masyarakat Bali menanam tanaman lahan kering seperti cabai, jagung atau kedelai. Tapi itupun hanya bisa dilakukan di musim penghujan. Selebihnya mereka harus mencari pekerjaan lain. Karena itulah desa ini terkenal dengan kemiskinannya. Warga desa ini sering menjadi sasaran olok-olok warga desa tetangganya yang lebih makmur.
Situasi ini berubah dengan kedatangan LSM yang mengkampanyekan pelestarian terumbu karang.