Laju hilangnya hutan Indonesia dalam 50 tahun terakhir sungguh sangat mengkhawatirkan. Kerusakan sampai dengan hilangnya hutan terjadi karena penebangan liar (illegal logging), HPH yang kurang memperhatikan laju pertumbuhan pohon, kebakaran hutan serta alih fungsi hutan menjadi areal pemukiman dan perkebunan. Sebagai gambaran, sejak tahun 1996 laju hilangnya hutan kita mencapai 2 juta hektar per tahun atau seluas lebih dari 3 kali kota Jakarta atau jika dirata-rata mencapai 6 kali luas lapangan sepak bola per menitnya...!!! Sungguh sebuah angka fantastis dan mengerikan.
Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika pada puncak musim hujan kali ini, bencana banjir dan longsor terjadi di berbagai tempat di Indonesia, baik di Pulau Jawa, Sumatera mau pun Kalimantan.
Pada kasus banjir Karawang dan Bandung Selatan yang terus berulang, kerusakan dan hilang atau gundulnya hutan terlihat simultan mulai dari hulu sampai hilir pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, demikian juga dengan jaringan irigasi yang mengikutinya. Dengan kondisi alam seperti itu, dipastikan hutan tak mampu lagi menahan curah hujan tinggi dan memicu Bendungan Cirata, Saguling, dan Jatiluhur meluap serta membanjiri daerah hilir, seperti Karawang dan Bekasi.
Jika keadaan ini dibiarkan, kondisi ini akan mengancam ketahanan pangan Jawa Barat, salah satu lumbung padi nasional. Coba lihat, akibat banjir Citarum kali ini, sekitar 250 km atau 70 persen dari total 350 km jaringan irigasi di Jabar saat ini sudah tidak berfungsi. Akibatnya, saluran irigasi tidak optimal menyalurkan air dari sungai.
Kerusakan saluran pembuangan terparah terjadi di Kabupaten Bandung dan kawasan pertanian di pesisir utara Jabar, yaitu Karawang, Cirebon, hingga Indramayu, mencapai luasan 817 hektar dan tersebar di tujuh kecamatan, yakni Teluk Jambe Timur (180 ha), Karawang Barat (9 ha), Klari (5 ha), Ciampel (67 ha), Teluk Jambe Barat (130 ha), Batujaya (32 ha), dan Pakisjaya (342 ha). Usia padi 1-10 hari (persemaian) dan sekitar 50 ha usia 11-100 hari, hampir bisa dipastikan akan mengalami gagal panen.
Selain pertanian, banjir juga telah menghambat pergerakan roda ekonomi karena turut terendamnya sebagian sentra industri Baleendah Bandung dan pemukiman penduduk di sekitar 22.000 rumah pada 35 desa di 10 kecamatan yang terendam banjir di Karawang, Jawa Barat. Bencana Banjir Lumpur (galodo) dan tanah longsor juga dialami di Kabupaten Solok (16/3), Kabupaten Limapuluh Kota, Kota Payakumbuh, serta Kabupaten Tanah Datar pulau Sumatera. (Sumber berita: Kompas cetak tanggal 24-26/3 halaman 1)
Kerusakan lingkungan dan hutan hulu DAS menjadi faktor utama penyebab terjadinya banjir, selain itu faktor curah hujan di atas rata-rata selama beberapa hari karena cuaca ekstrim mengakibatkan air hujan kurang bisa diserap oleh tanah sekitar hulu DAS menjadikan tumpahan air hujan seperti digelontor langsung ke sungai dan waduk yang ada.
Tingginya curah hujan di kawasan Bandung dikuatkan oleh laporan yang disampaikan prakiraan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Sejak Februari hingga Maret, curah hujan lebat kerap terjadi, terutama pada sore hari, dan beberapa kali disertai dengan hujan es. Potensi hujan semacam ini masih bisa berlangsung sampai dengan akhir April 2010 ini, oleh karenanya tetap waspadalah...!.
Masalah cuaca ekstrim berupa hujan badai, angin puting beliung, tidak terlepas dari peristiwa Pemanasan Global (global warming) dan Perubahan Iklim (climate change) yang terjadi di Bumi kita, sekarang ini. Sehubungan dengan itu, tidak ada kata terlambat untuk menyelamatkan sisa hutan yang ada.
Ayo kita lakukan langkah-langkah kecil untuk mencegah pemanasan Global, seperti: melakukan penghijauan lingkungan mulai dari halaman rumah masing-masing, bijak menggunakan barang yang diolah dari kayu hutan seperti kertas, tissue dan sebagainya, gunakan kembali barang-barang (reuse), penghematan barang (reduce), daur ulang (recycle) dan yang tidak kalah pentingnya melakukan hemat BBM, hemat air dan hemat listrik.
Matikan listrik selama satu jam saat Earth Hour.