Ada ribuan kalimat di dalamnya, tapi jiwanya mati, tak terbaca. Ia hanya menjadi pajangan hina oleh debu dan kutu. Peta-peta kehidupan di dalam menjadi tak berarti dan mati di dalam kubangan sampah. Tangan yang dulu menulisnya dengan cinta, tak pernah tahu anaknya menderita. Harapan dan cita-cata yang dituangkan hangus tanpa sisa, tak berguna.
Tinta-tinta yang rela terluka, harus menerima jiwanya luntur tak berdaya. Kertas-kertas yang mengorbankan kesuciannya, harus rela menerima cemoh penghinaan. Dengan tak adanya jiwa yang dibuatnya berbudaya.
Buku mati, tak ada kata dan kalimat yang ingin mengisinya. Tak ada tangan yang ingin menulisnya. Tak ada tinta yang ingin jiwanya luntur. Tak ada kertas yang ingin dicemoh, tak berguna.
Kata dan kalimat ingin tetap menjadi jendela dunia. Tinta ingin jiwanya tetap tumbuh. Dan kertas ingin harkat dan martabatnya tetap utuh.
Buku mati apakah kamu yang salah, atau orang-orang yang tak pernah membukamu?
Bandar Lampung, 24 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H