Mohon tunggu...
wilson watu
wilson watu Mohon Tunggu... -

Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, menaruh minat pada masalah-masalah sosial politik.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Apa Guna (Ber)Sekolah?

15 Agustus 2017   14:01 Diperbarui: 15 Agustus 2017   14:25 6439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat sedang mengikuti perkuliahan pasca sarjana di program Teknologi Pendidikan Universitas Pelita Harapan beberapa waktu lalu, ada seorang teman kuliah yang memberikan sharing yang cukup menarik. Dia bercerita tentang sikap salah seorang muridnya yang mendapat nilai sempurna untuk sebuah mata pelajaran yang dianggap cukup sulit. Kebetulan saat itu ada cukup banyak temannya yang tidak mencapai standar nilai daari mata pelajaran tersebut dan harus mengulang. Anak itu bertanya sekaligus meminta pada gurunya "bu, bolehkah saya bagikan nilai saya pada teman yang tidak lulus? Biar saya dapat nilai yang biasa-biasa saja, yang penting teman-teman saya bisa mendapat nilai yang saya bagi sehingga mereka boleh lulus. Saya merasa tidak nyaman ketika hanya saya sendiri di kelas yang medapat nilai yang baik sedangkan teman-teman saya tidak mendapatkannya. Biarkan saya bantu mereka dengan nilai saya". 

Bagi saya, pertanyaan anak ini mencerminkan krisis yang sedang terjadi pada pendidikan kita. Orientasi pada kompetisi membuat anak-anak didik terpacu mendapatkan nilai tertinggi, peringkat terdepan, serta tempat pertama. Tanyakan anak anda, apa yang paling mereka takutkan di sekolah? pasti salah satu jawaban mereka adalah takut dapat nilai jelek saat ulangan. Apakah mendapatkan skor tertinggi atau skor yang baik merupakan kesalahan? Tidak. Skor tidak salah. Wajar jika seseorang berjuang mendapatkan skor yang baik karena itu mencerminkan daya juang dan keseriusan. Yang salah adalah kita memaksa anak didik kita ketika perjuangan mereka sudah mencapai titik paling tinggi. Kita memaksa mendapatkan nilai sempurna sementara nilai 80 ternyata diperoleh dengan sangat susah payah. Ketimbang memuji, kita lebih sering memaksa mengapa tak dapat nilai yang lebih baik. Ketika pekerjaan dibagi, anak-anak lebih suka bertanya siapa yang nilainya paling tinggi ketimbang bertanya apa yang saya bisa buat untuk teman yang nilainya jatuh. Apakah ini sepenuhnya salah mereka? Bukan. Konsentrasi mereka pada kompetisi adalah bagian dari kesalahan dari keluarga kita dan bahkan masyarakat kita. Sebagai contoh, Saat anak-anak kembali dari sekolah, pertanyaan yang sering dilontarkan oleh orang tua adalah tadi di sekolah dapat nilai berapa? tadi siapa yang paling tinggi dapat skor ini atau itu? Sejalan dengan itu, perintah yang sering didapat anak saat tiba di rumah adalah "ayo segera kerjakan PR-mu. Besok kerjakan baik-baik ya latihan-latihan di sekolah ya supaya dapat nilai 100".

 Cukup jarang ketika mereka pulang ditanyakan hal ini, "tadi di sekolah bantu teman tidak?" atau cukup jarang mereka dapat nasihat, "besok kalau ada teman yang butuh pensil kamu harus pinjamkan ya, mama/papa sudah siapkan beberapa pensil untuk bantu teman yang tidak punya". Masyarakat kita pun demikian. Seseorang dianggap berhasil di masyarakat jika sudah punya titel sarjana, IPK yang tinggi, serta penghasilan yang cukup. Tak heran jika masyarakat kita mengharapkan anak-anaknya ramai-ramai tes PNS karena punya jaminan masa depan dengan dana pensiun yang cukup. Saya tidak mau menggeneralisasi, tapi saya hendak ambil contoh dari masyarakat di mana saya berasal. Anak seorang kenalan saya terkena drop out dari universitasnya. Orang tuanya kecewa berat. Tetangga dan masyarakat sekitar menganggapnya gagal karena tak bisa selesaikan kuliah. Ternyata, yang dia buat adalah menghabiskan waktu jadi supir untuk membantu teman-temannya yang kesulitan uang. Ia sendiri sampai lupa bahwa dia sendiri punya tanggung jawab pada dirinya sendiri. Saya merasa tidak adil dengan penilaian masyarakat dan orang tuanya bahwa anak itu gagal. Bagi saya, dia memang gagal mendapat IPK serta titel sarjana, tapi dia berhasil sebagai seorang manusia yang peduli.  Tapi, apa masyarakat kita melihat hal itu? Atau apakah orang tuanya menyadari itu?

Kembali ke pertanyaan awal, apa guna (ber)sekolah? Jika orientasi kita pada anak didik adalah meningkatkan skor, maka manusia yang sedang kita bentuk adalah manusia yang kompetitif yang berorientasi pada tempat yang paling depan, penghasilan yang paling tinggi, serta usaha mendapat kehormatan dengan jabatan yang tinggi. Jika orientasi kita pada anak didik kita adalah meningkatkan kerja sama, maka manusia yang kita bentuk adalah manusia yang kooperatif, peka, serta mampu berpikir ke luar dari dirinya sendiri. Tidak ada orang yang gagal karena baik hati, peduli atau pun peka. Sebaliknya banyak orang gagal karena berpikir tentang dirinya sendiri. Mari kita bertanya, manusia seperti apa yang sedang kita bentuk?

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun