Waspadalah dalam mengumbar (mengobral) janji-janji menikahi, terutama bagi pria, karena hal tersebut dapat berdampak pada persoalan hukum, bukan semata-mata persoalan moral dan adat belaka. Apalagi hubungan yang terjalin sudah sangat serius dan telah mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mempersiapkan segala macam kebutuhan untuk pernikahan, serta menimbulkan kerugian dan kekecewaan yang mendalam bagi salah satu pihak.
Percintaan dan masa berpacaran memang begitu indah bagi pasangan yang dirundung asmara, hingga melahirkan suatu komitmen yang disusun dengan apik demi mempertahankan cinta menuju ke pelaminan. Namun permasalahan menjadi begitu pelik ketika salah satu pihak melanggar komitmen untuk melanjutkan hubungan cinta ke jenjang pernikahan.
Ketika masa berpacaran seringkali salah satu pihak memberikan pengharapan dan janji-janji masa depan untuk melangsungkan pernikahan kepada pasangannya, bahkan keduanya sudah saling memperkenalkan satu sama lain kepada pihak keluarga dan kerabat sebagai calon istri/suami. Sebagaimana pernah diulas dalam artikel hukumonline, janji menikahi yang tidak dilaksanakan atau dibatalkan dapat menimbulkan konsekuensi hukum berujung pada gugatan perdata.
Kisah cinta yang berujung gugatan perdata pernah terjadi pada tahun 1984 di Lombok, dimana sang wanita menggugat sang pria karena pria tersebut tidak memenuhi janjinya untuk menikahi sang wanita. Gugatan tersebut terus berlanjut hingga Mahkamah Agung (MA), dan hasilnya adalah MA menghukum sang pria untuk membayar ganti rugi kepada sang wanita., sebagaimana tertuang dalam putusan perkara No. 3191K/Pdt./1984.
Dalam perkara tersebut, sang pria (Tergugat) telah berjanji kepada sang wanita (Penggugat) bahwa dirinya akan menikahi sang wanita, bahkan Tergugat rela memberikan Kartu Taspen, Karpeg, dan sebuah sepeda motor miliknya kepada Penggugat sebagai upaya untuk meyakinkan Penggugat. Namun sayangnya, Tergugat tak kunjung menikahi Penggugat hingga akhirnya Penggugat memutuskan untuk memproses persoalan tersebut ke pengadilan.
Menariknya, gugatan tersebut didasari dengan dalil Perbuatan Melawan Hukum (PMH), yakni karena adanya unsur-unsur perbuatan yang dianggap bertentangan dengan norma moral kesusilaan dan kepatutan di masyarakat. Pada prinsipnya, dalil PMH mengacu pada pasal 1365 KUH Perdata yang menegaskan bahwa:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
Disisi lain, KUHPerdata telah mengatur secara rinci mengenai ‘janji pernikahan’, sebagaimana tercantum dalam pasal 58 yang pada intinya menegaskan bahwa janji-janji kawin (pernikahan) tidak menimbulkan hak untuk menuntut dimuka hakim akan berlangsungnya perkawinan maupun mengenai kerugian yang timbul, kecuali telah dilakukan pemberitahuan kepada pegawai pencatatan sipil dan dibarengi dengan pengumuman. Sehingga dapat disimpulkan, berdasarkan pasal 58 KUH Perdata, salah satu pihak dapat saja mengajukan gugatan serta meminta ganti rugi kepada pihak lain terkait dengan tidak dilaksanakannya pernikahan dimana rencana pernikahan tersebut sudah diberitahukan kepada pegawai pencatatan sipil dan diumumkan.
Uniknya, dalam perkara tersebut tidak mendasari pada pasal 58 KUH Perdata, melainkan mengacu pada unsur Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana pada pasal 1365 KUH Perdata dengan pertimbangan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat telah memenuhi unsur PMH yakni melanggar norma kesusilaan dan kepatutan di masyarakat. Penafsiran mengenai PMH telah diperluas oleh Hoge Raad dalam kasus Lindenbaum vs Cohen, dimana PMH tidak hanya sebatas melanggar Undang-Undang tetapi juga bertentangan terhadap Hak subyektif orang lain, kewajiban hukum pelaku, kaidah kesusilaan, dan kepatutan dalam masyarakat.
Berdasarkan pada penafsiran tersebut, sangatlah jelas bahwa kasus tersebut dapat dikategorikan sebagai PMH karena perbuatan Tergugat dianggap telah bertentangan dengan kaidah kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat. Sehingga MA menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat. Dapat dikatakan bahwa MA telah melakukan suatu terobosan hukum dan tidak kaku dalam memberikan pertimbangan hukum.
Kasus ini menjadi pelajaran berharga serta menjadi acuan bagi pasangan (pacaran) yang begitu bergelora mengumumkan akan menikah yang pada dasarnya seringkali hal tersebut hanyalah sebuah eforia percintaan belaka Pada akhirnya, putusan tersebut menjadi suatu yurisprudensi dan sekaligus menjadi warning bagi siapapun yang hendak bermain-main dengan janji-janji pernikahan..
----------------------------------------------------------------
Bahan bacaan:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b2a4256a32ea/tidak-menepati-janji-menikahi-adalah-pmh
Peraturan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H