Berita selalu dituntut untuk berpegang pada objektifitas dan faktualitas dari kejadian yang dilaporkan. Hal ini yang menjadikan verifikasi dalam peliputan dan pencarian data menjadi krusial dalam praktik kerja seorang jurnalis. Jurnalis dituntut untuk terus berdiri pada titik di mana dia tak boleh berpihak dan berprasangka apalagi menghakimi saat meliput dan menulis berita.
Namun, itu hanya ada di atas kertas.
Nyatanya, setiap berita berada di antara rentang “sangat objektif” hingga “sangat subjektif”. Tidak ada berita yang seratus persen objektif atau seratus persen subjektif. Misalnya berita tentang pekerjaan sales promotion girl (SPG) di ajang Indonesia International Motor Show (IIMS) 2014 yang digelar September lalu. Jika Anda jeli, hampir semua media massa menulis dengan idiom “SPG cantik” atau idiom lain yang nadanya subjektif (terlepas dari setuju – tidaknya Anda sebagai pembaca).
1. Tempo.co: http://www.tempo.co/read/news/2014/09/23/123609062/Panas-panasan-Berapa-Honor-SPG-Cantik-IIMS-2014
2. Merdeka.com: http://www.merdeka.com/foto/peristiwa/spg-cantik-nan-seksi-hiasi-stan-pameran-truk-di-iims-2014.html
3. Detik.com: http://oto.detik.com/otoshow/read/2014/09/23/100224/2698159/1506/ini-jurus-spg-cantik-hadapi-cowok-nakal-di-iims
Tetapi meskipun sebagai pembaca Anda merasa tidak setuju dengan unsur subjektif dalam berita, hal ini tidak dapat dielakkan. Anda mungkin berkata: “Hei, saya berita untuk mencari fakta objektif, bukan opini” atau “Saya tidak mau dipengaruhi oleh opini dari media” tetapi kenyataannya Anda membutuhkan unsur subjektif dalam berita. Sama halnya seperti seorang pialang saham yang membaca berita bisnis untuk menentukan waktu jual dan beli, atau seorang yang menentukan waktu untuk hiking dan mencari berita mengenai cuaca dan transportasi. Anda membaca berita untuk dipengaruhi (selain diberi informasi).
Meskipun judul tulisan ini memakai kata takaran, tetapi kenyataannya seberapa subjektif dan objektif sebuah berita sulit diukur. Lihat saja pemberitaan media massa nasional baik cetak maupun elektronik mengenai konstetasi Pilpres lalu. Saya yakin Anda tahu pada siapa TV One, Metro TV, dan The Jakarta Post memihak. Tetapi secara samar, Anda dapat memperhatikan bagaimana media lain yang “lebih independen” juga mengambil sisi dalam pandangan politik. Meski begitu, aspek – aspek etika dan keberimbangan dalam praktik jurnalis tetap dijunjung.
Melek Media
Kita saat ini memasuki era yang disebut era informasi. Informasi telah menjadi salah satu komoditas penting bagi individu maupun organisasi dalam mengambil keputusan dalam zaman yang dinamis ini. Konsumsi media-pun tak dapat dihindari. Bahkan, informasi media sering dijadikan acuan utama dalam pengambilan keputusan.
Tentu bukanlah hal yang buruk mencari informasi melalui media massa. Akan tetapi setiap informasi yang harus dijadikan acuan haruslah diterima dengan skeptis. Apalagi jika media yang bersangkutan memiliki kepentingan dalam informasi tersebut.
Selain itu, haruslah menjadi perhatian orang tua modern untuk menurunkan sikap melek media terhadap anak-anaknya. Media saat ini ibarat dua sisi koin. Media bisa menjadi alat pembelajaran yang efektif baik hal yang positif maupun yang negatif.
Terakhir, aspek subjektif dalam berita bukanlah hal yang hina. Berita pada dasarnya harus memihak. Misalnya ketika memberitakan peristiwa pencabulan di Sekolah Jakarta International School, maka jurnalis sudah barang tentu memihak korban pencabulan dengan menjadi penyambung suaranya. Dengan kata lain, voice of the voiceless. Tapi di sisi lain, berita tetap tidak bisa diisi dengan fakta imajinatif. Fakta tetap fakta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H