Ketika berkesempatan main-main ke negara tetangga kita, Myanmar, saya terkesima dengan penampilan penduduk lokal--dari Yangon, kota terbesarnya, hingga ke desa-desa--yang cukup berbeda dengan kebanyakan warga Indonesia atau negara Asia Tenggara lainnya.
~~~
Mengenai pakaian, para prianya di mana-mana di setiap kesempatan dari tukang ojek hingga mahasiswa kebanyakan masih memakai sarung. Sarung di sana disebut "longyi". Gaya memakai longyi pria agak berbeda dengan sarung di Indonesia. Kaum perempuannya masih banyak yang memakai kain bawahan/jarik (yang juga disebut longyi) atau rok yang panjang hingga mata kaki. Lucunya, saya lihat longyi perempuan di Myanmar ini banyak berupa batik yang ternyata diimpor dari Indonesia! [caption id="attachment_238270" align="aligncenter" width="480" caption="Warga Myanmar di kota Yangon dengan longyi-longyi mereka. (Foto: Williandry)"][/caption] [caption id="attachment_239084" align="aligncenter" width="480" caption="Gadis-gadis Myanmar di Pagoda Shwedagon, Yangon, dengan longyi mereka. (Foto: Williandry) "]
[/caption] Di Myanmar kebanyakan para pria berkebiasaan menguyah sirih hingga kita lihat bibir mereka merah-merah dan gigi mereka bila tersenyum tampak kotor akibat noda dari kunyahan sirih. Kalau rokok kita terganggu dengan asapnya, di Myanmar kita bisa terganggu dengan ludah pengunyah sirih yang dibuang di mana-mana. Trotoar dan jalan di Myanmar rasanya tidak ada yang bersih bebas dari warna merah dari ludah para pengunyah sirih itu. Penjual sirih pun bisa kita lihat ada di mana-mana, berupa asongan maupun seperti warung rokok. [caption id="attachment_238550" align="aligncenter" width="480" caption="Ludah-ludah merah hasil mengunyah sirih yang mengotori jalan di Yangon. (Foto: Williandry)"]
[/caption] [caption id="attachment_239147" align="aligncenter" width="480" caption="Daun sirih dan segala bahan tambahannya ditata apik di sebuah kios penjual sirih di Yangon. (Foto: Williandry) "]
[/caption] Nah, di wajah para penduduk Myanmar bisa kita lihat hal unik lainnya. Wajah mereka, terutama perempuan dan juga anak-anak, dihiasi semacam pupur seperti bedak dingin pada perempuan Banjar di Kalimantan Selatan. Pupur ini bernama "thanaka", berasal dari pasta hasil gerusan dari batang pohon semacam cendana. Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi di Myanmar sejak ribuan tahun yang lalu. Thanaka disebut berguna untuk menghaluskan kulit dan melindungi kulit dari sinar matahari. Biasanya thanaka ditaruh di pipi, namun ada juga yang menaruhnya di seluruh wajah bahkan juga tangan. Pria pun ada yang memakai thanaka ini. Saya kerap tersenyum geli melihat mas-mas di jalan atau di pasar yang bertato dan tampak sangar penampilannya tapi, duh, mukanya kok berpupur. Para wanita Myanmar kebanyakan berrambut panjang. Mereka banyak pula yang menyanggul rambutnya, kadang dengan menaruh sisir di sanggul mereka. Tidak sedikit pula yang menghiasi sanggulan rambut dengan bunga-bunga segar, termasuk juga Ibu Aung San Suu Kyi. [caption id="attachment_238271" align="aligncenter" width="480" caption="Anak-anak SD di kota Pakokku berangkat sekolah dengan thanaka menempel di wajah mereka. (Foto: Williandry)"]
[/caption] [caption id="attachment_239085" align="aligncenter" width="420" caption="Seorang wanita Myanmar di terminal bis di Mandalay dengan thanaka dan untaian bunga segar menghiasi rambutnya. Pemandangan semacam ini masih banyak ditemui di negeri Buddhis ini. (Foto: Williandry) "]
[/caption] [caption id="attachment_239086" align="aligncenter" width="480" caption="Perempuan Myanmar yang ber-thanaka dan menghiasi rambutnya dengan bunga di sebuah pasar tradisional di Mandalay. (Foto: Williandry)"]
[/caption]
~~~
Banyak yang berpendapat bahwa seiring dengan semakin terbukanya Myanmar dan mulai diserbu modernitas kapitalis yang mengglobal maka kebiasaan unik warga Myanmar pasti akan mulai memudar. Saya di sana cukup sering melihat anak-anak muda sudah berpenampilan "modern", dengan memakai celana jeans bahkan rok mini dan potongan rambut a la selebritis Korea. [caption id="attachment_238273" align="aligncenter" width="480" caption="Pemandangan khas Myanmar di sebuah desa di tepi jalan dari kota Pakokku menuju Nyaung U: warung kecil menjual sirih, bocah dan gadis dengan pupur thanaka di wajah dan para pria dengan longyi mereka. (Foto: Williandry)"]
[/caption] Buddha Gautama mengajarkan mengenai tidak permanennya segala sesuatu. Di negeri Buddhis ini rupanya kungkungan tirani junta militer tidaklah kekal, lalu begitu pulakah keunikan penduduknya? Berbagai hal unik lainnya yang dapat kita temukan di negeri seribu Pagoda ini bisa dilihat
di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya