Bergabungnya wilayah Irian Barat menjadi provinsi ke-26 Republik Indonesia pada tahun 1969 dengan dilaksanakannya PEPERA yang diikuti oleh seluruh wakil dari wilayah di Papua di hadapan PBB, serta dengan disahkannya Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 tanggal 19 Oktober 1969, adalah sebuah perjalanan panjang perjuangan rakyat Papua. Perjuangan masyarakat Papua untuk meniatkan tekad yang bulat untuk bergabung, berdaulat penuh dalam Republik Indonesia.Â
Perlu diketahui juga bahwa dalam kurun waktu yang sangat panjang tersebut, terdapat rentetan peristiwa heroik demi mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Empat tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Belanda tetap saja belum mau hengkang dari Papua. Indonesia berusaha terus memaksa Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB).Â
Namun seiring berjalannya waktu, ketidakpuasan rakyat Papua atas kinerja dan kebijakan Pemerintah Indonesia yang dinilai menganaktirikan mereka membuat sejumlah tindakan separatis muncul, salah satunya adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM).Â
OPM merupakan sebuah gerakan separatis yang didirikan tahun 1965 yang bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Papua bagian barat dari pemerintahan Indonesia. Sebelum era reformasi, provinsi yang sekarang terdiri atas Papua dan Papua Barat ini dipanggil dengan nama Irian Jaya. OPM merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah dengan bagian Indonesia.Â
Penyatuan wilayah ini ke dalam NKRI sejak tahun 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia dimana pihak Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang merdeka, Indonesia. Perjanjian tersebut oleh OPM dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.
Saat ini istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) merupakan sebutan lain terhadap OPM yang memiliki narasi yang sama, cita cita yang sama, dan punya Bendera yang sama(Bintang Kejora) bisa jadi juga terhubung dengan gerakan Papua Merdeka lainnya baik gerakan bersenjata, serta gerakan lewat jalur politik dsb.Â
Aksi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua tak perlu disangsikan lagi. Beberapa waktu lalu, mereka telah melakukan penembakan pada aparat keamanan, diikuti dengan penyanderaan sejumlah warga sipil di beberapa wilayah di Papua. KKB ini selain terus melakukan teror pada aparat keamanan, juga meneror warga sipil yang tidak berdosa.Â
Menurut catatan Kepolisian, setidaknya terdapat 1.300 warga sipil yang disandera oleh KKB. Akibat dari penyanderaan tersebut, warga merasa tertekan dan terintimidasi. Pasalnya, selain melakukan kekerasan, KKB juga merampas harta warga hingga memperkosa perempuan.Â
Hingga puncaknya, KKB melakukan pembantaian terhadap 31 pekerja proyek jembatan dan satu anggota TNI di Nduga. Penembakan dilakukan terhadap pekerja pembangunan Jembatan Kali Aorak dan Jembatan Kali Yigi di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua. Kedua jembatan merupakan bagian dari Trans Papua segmen 5 menghubungkan Wamena-Mumugu dengan panjang 278,6 km.Â
Melihat hal tersebut, tindakan para anggota KKB Papua melakukan tindakan pembantaian dan merampas hak hidup seseorang merupakan suatu pelanggaran HAM berat, padahal para korban merupakan pekerja untuk membangun jalur transportasi di wilayah itu agar roda perekonomian berjalan maju dan berkembang.Â
Untuk itu, perlu ada tindakan tegas dalam menangani masalah HAM, karena selama ini sering kita melihat bahwa di Papua Aktivis HAM dan  Komnas HAM selalu ada ketika suatu kekerasan oleh aparat TNI/Polri dilakukan kepada rakyat sipil, namun mengenai Insiden penembakan yang dilakukan oleh KKB Papua Merdeka kepada orang sipil kemarin, beberapa Aktivis HAM dan Komnas HAM Papua seperti tenggelam tertelan Bumi, mereka dengan sengaja menyembunyikan kasus seperti itu. sebenarnya dimana letak keadilan para penggiat HAM tersebut, apakah mereka tidak berfikir bahwa setiap orang Indonesia, baik aparat keamanan maupun warga sipil, tidak berhak memiliki hak asasi manusia?