Pada satu November lalu, saya meluangkan waktu untuk menonton film yang sudah lama saya incar, berjudul "Bolehkah Sekali Saja Menangis." Begitu kesempatan itu tiba, saya langsung memilih film ini tanpa ragu.
Film ini dibuka dengan sebuah peringatan bagi penonton. Saya merasa sudah siap dan ingin tahu apakah film ini benar-benar mampu membuat saya terharu seperti yang dialami banyak penonton lainnya. Seiring menyaksikan alur ceritanya, saya menyadari bahwa film ini mengisahkan sebuah rumah tangga yang dilanda masalah KDRT. Dalam cerita ini, terdapat seorang ayah yang emosional, mudah marah, dan sering melukai istrinya. Ada pula seorang anak yang pulang dari kerja, merasa muak melihat situasi tersebut, dan bertanya dalam hati, "Besok akan terjadi apa lagi ya?"
Saya merasa ada kesamaan, meskipun bukan dalam konteks KDRT, tetapi dalam pengalaman yang berbeda. Saya juga merasakan lelah, sama halnya seperti sosok pemeran utamanya. Namun, di rumah saya hanya merasa baik-baik saja.
Seiring berjalannya waktu, saya semakin memahami film ini dan merasakan kesedihan yang mendalam. Tema yang diangkat sangat sensitif, terutama bagi anak-anak dari keluarga broken home, yang sering kali menyimpan perasaan mereka tanpa diketahui orang tua. Meskipun saya tidak merasakan langsung apa yang digambarkan dalam film, saya tetap bisa merasakan dampaknya.
Sangat disayangkan bahwa sosok ayah, yang seharusnya melindungi dan mengayomi keluarganya, justru menciptakan luka. Situasi ini terasa dekat dengan pengalaman saya, membuat saya ikut merasakan kesedihan. Saya dapat memahami perasaan ketika harus berpura-pura bahwa tidak ada yang salah, bingung kepada siapa menceritakan masalah, dan merasakan ketidaknyamanan di rumah.
Dari film ini, saya merasa terdorong untuk mencari konselor, berbagi cerita dalam kelompok, dan mendengarkan pengalaman orang lain sebagai cara untuk melepaskan tekanan yang selama ini saya tahan. Menahan perasaan memang melelahkan. Menganggap semuanya baik-baik saja, padahal mental kita sudah terbebani, bukanlah hal yang mudah. Namun, film ini membantu saya menyalurkan emosi yang selama ini terpendam, karena saya jarang memvalidasi perasaan saya.
Film ini mengajarkan pentingnya berani mengambil keputusan untuk masa depan kita. Siapa yang tidak ingin merasa bahagia? Siapa yang ingin hidup dalam tekanan? Saya merasa film ini sangat baik, terutama bagi mereka yang mengalami situasi serupa, seolah memberi tahu bahwa mereka tidak sendirian. Banyak orang di luar sana yang mengalami hal yang sama, dan kita sering kali bingung untuk mengungkapkan perasaan tersebut.
Sayangnya, banyak orang tidak menyempatkan waktu untuk bercerita, dan ada kalanya mereka kehilangan kesempatan tersebut, entah itu secara alami atau dengan cara yang lebih tragis. Saya percaya bahwa keberadaan konselor sangat membantu, meskipun saya sendiri belum memiliki kesempatan untuk melakukannya.
Jadi film ini juga mengingatkan ketika kita merasa Lelah dan capek akan hidup. Boleh saja kok untuk menangis. Menangis juga bukan hal yang buruk melainkan salah satu validasi sebuah perasaan yang dibandingkan menahan semua emosi tetapi suatu ketika juga akan pecah juga. Untuk menangis sendirr ga harus untuk cewe, tetapi cowok juga. Walau Sebagian orang berpikir untuk apa sih cowok menangis.
Tetapi faktanya rumah sakit jiwa korbannya Sebagian besarnya adalah laki-laki yang Dimana seorang laki-laki yang meruapkan sosok yang kuat tetapi sebenarnya menyimpan semua kesedihannya tanpa cerita atau menyalurkan emosi tersebut. Tentunya hal ini bukanlah hal yang baik. Jadi tak salah untuk melakukan hal itu.