konten viral semakin akrab dengan kehidupan sehari - hari dengan kita dibiasakan untuk narsis di media sosial.
Selfie, filter, danSelain untuk menghilangkan batas ruang dan waktu, media sosial juga menjadi semacam kolam untuk berkaca dan mengagumi dirinya sendiri, sama seperti yang dilakukan Narcissus dalam mitologi Yunani.
Ketika orang-orang berbagi di media sosial, banyak konten dirancang khusus untuk menunjukkan kepada orang lain betapa hebatnya dan menyenangkannya mereka --- postingan yang menunjukkan bahwa mereka penting.
Sisca Kohl menjadi populer setelah konten TikTok yang memamerkan kehidupannya menarik perhatian warganet Indonesia. Suara Sisca Kohl yang khas dalam mengiringi video yang menunjukkan sisi kehidupan yang jarang terjangkau masyarakat lalu trending dan dibicarakan.
Mengutip dari Twitter @dinikopi, formula kesuksesan Sisca Kohl dapat disimpulkan sebagai berikut:
Konten pamer harta + makanan atau alat masak yang unik dan bikin orang penasaran + suara yang unik + nada bicara yang konsisten + script yang powerful
Ketika orang lain ikut mengagumi apa yang anda tampilkan di media sosial dan mendulang pembicaraan, Anda bisa mengatakan bahwa diri Anda berhasil menampilkan diri di media sosial.
Buah Simalakama Konten Narsis
Persoalan lalu muncul untuk mentransformasikan perhatian atas konten narsis menjadi suatu keuntungan. Banyak orang salah mengira "suka" kepada konten yang telah dikeluarkan sebagai indikasi minat berkepanjangan.
Padahal, media sosial dengan ratusan juta penggunanya dapat mudah berpaling ke konten viral satu dan lainnya.
Di waktu yang sama, postingan yang viral akan mendatangkan mereka yang mencontoh dan coba ikut meraup keuntungan.
Pengguna media sosial dan brand bisa saja mengikuti formula Sisca Kohl untuk dapat viral, namun apakah konten narsistik tersebut dapat menarik massa untuk terus setia kepada mereka?
Sains telah menunjukkan bahwa sementara narsisme mungkin menarik pengikut pada awalnya, sifat tersebut tidak memiliki kemampuan untuk menjaga pengikut itu dalam jangka panjang.
Dari penelitian yang dikutip oleh LA Times, Melissa Healy menulis,
"Ketika sekelompok orang asing berkumpul bersama, orang-orang yang narsismenya tinggi di awal menikmati kekaguman, pengakuan, dan rasa bersahabat di antara orang -- orang asing tersebut. Namun seiring waktu, kepercayaan diri dan kecakapan menunjukkan diri gagal menopang mereka untuk mendapat kepercayaan lebih lanjut."
Melissa Healy lalu mengatakan bahwa melatih kecerdasan emosional dan mengekspresikan empati adalah strategi jangka panjang yang lebih baik.Â
Pikirkan tentang kualitas emosional dari pesan yang Anda untuk media sosial pribadi maupun merek atau perusahaan yang anda representasikan.
Menjadikan Diri Sendiri Narsis Atau Membuat Ruang Agar Orang Lain Bisa Narsis?
Apa yang membuat orang tertarik dan bertahan lama adalah bagaimana konten yang Anda bukan untuk menunjukkan bahwa Anda yang istimewa, namun Anda sukses membuat orang dapat terus melihat Anda dan merasa tervalidasi atau merasa istimewa.
Contoh brand yang berhasil menciptakan konten yang bukan berpusat kepada "Aku", namun "Kamu" atau "Kalian" adalah promosi yang dibuat Coca-Cola di Cina.
Perusahaan menawarkan botol yang bertuliskan nama atau emosi yang ingin diungkapkan pelanggan. Mereka bersama-sama mempromosikan botol-botol ini dengan Sina Weibo, salah satu situs media sosial China.
Pada hari pertama promosi, konsumen China memesan 300 botol per jam; pada hari keempat, mereka memesan 300 botol per menit. Alih-alih mencari "yang disukai", Coca-Cola mencerminkan apa yang dicari konsumen: validasi.
Mereka menyadari bahwa pesan merek terkuat yang dapat mereka kirimkan adalah cerminan dari pelanggan itu sendiri.
Hal yang sama sukses dilakukan Starbucks.
Alih-alih menempelkan logo Starbucks besar - besaran di cangkir mereka, mereka memilih untuk mencetak puisi dan prosa yang memberikan hikmah dan inspirasi.
Ketika brand punya pilihan mendekorasi cangkir kopi dengan logo yang tidak lebih mengatakan "Ke-Aku-an," mereka menggunakan cara bercerita kreatif untuk membuat peminum kopi mereka merasakan ikatan.
Starbucks memberikan nilai kepada pelanggan mereka lewat cara yang tidak mempromosikan diri mereka secara eksplisit tetapi membantu membentuk hubungan emosional yang lebih dalam.
Dengan menyingkirkan "Aku" atau "Kita" yang narsistik, merek harus berpikir lebih inovatif tentang bagaimana mengkomunikasikan pesan dan nilai.
Baik brand dan Anda, para pengguna media sosial, perlulah berpikir bahwa menjadi narsis dalam suatu hal memang bisa membuat terkenal, namun hanya menarik perhatian internet sebentar saja.
Sisca Kohl, jika Anda belum tahu, memiliki beragam konten lain di media sosial yang bisa memenuhi kebutuhan pasar lain yang tidak terbatas kepada "pamer harta di TikTok."
Orang di media sosial adalah Narcissus. Mereka membutuhkan ruang untuk divalidasi dan merasa istimewa.
Jika Anda ingin meraup keuntungan dari viral media sosial, ciptakan sesuatu yang bisa menjadi kaca atau kolam untuk melihat refleksi orang lain sehingga mereka akan datang kembali dan pada akhirnya menjadi pelanggan setia.
Baca juga: "Percaya Diri dan Narsis: Beda Tipis" oleh hendra setiawan
Bagaimana kompasianers melihat fenomena Sisca Kohl dan narsis di media sosial? Mari buat tulisan atau berdiskusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H