Bahkan mengkoordinir rekan-rekannya dari Muara Enim berangkat ke Jakarta melakukan aksi unjuk rasa di Gedung DPR RI terkait RUU Guru dan Pegawai Honorer.
Demonstrasi itu membuat sebagian rekannya sesama guru honorer diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara sementara dirinya dan masih banyak lagi tidak.Â
Meski demikian Tahta tetap legowo dan bahagia. Baginya perjuangan adalah perjalanan yang harus dilalui tak peduli seberapa buruk jalan yang harus dilewati.
"Itulah risiko dari perjuangan," ungkap pria jebolan Sarjana Ilmu Pendidikan Sejarah itu dengan penuh semangat.
Pada tahun 2010, Tahta Al'Djamaz  berhenti menjadi seorang guru. Bapak beranak satu ini mencoba profesi baru, yakni bekerja di bidang perusahaan finance. Dia ditempatkan pada bagian penagihan atau yang santer disebut debt collector.
Hari-hari dilaluinya sangat berisiko tinggi. Teror menjadi hal yang selalu menemani hari-harinya saat melakukan penagihan ke nasabah.
"Saya bahkan pernah diancam untuk dibunuh gara-gara tagih utang. Tapi ya mau bagaimana lagi. Itulah risiko kerja," ungkap pria kelahiran 20 Juni 1982 itu sembari tersenyum.
Di tengah pelik menjadi seorang penagih utang, Tahta Al'Djamaz mencoba peruntungan maju sebagai Calon Anggota DPRD di Pileg 2014.Â
Walau berproses sesuai ketentuan Pemilu, namun keberuntungan belum berpihak padanya untuk menjadi seorang anggota legislatif.
"Saya maju dari Partai PKS, tetapi tidak lolos. Tapi ya itu lagi risiko perjuangan. Hidup ini tidak selamanya berjalan sesuai yang kita inginkan," ungkap ayah dari M. Yusuf Amrilah itu.
Tahta Al'Djamaz mengatakan dalam kehidupan, manusia meski menentukan sikap, karena sikap yang mampu membuat diri seorang bertahan atau tidaknya di tengah kuatnya hantaman badai dan gelombang kehidupan. Â