Anak-anak yatim hanya bisa pasrah bertahan hidup di tengah berbagai keterbatasan fasilitas yang dimiliki Pondok Pesantren Nurjadiid, di Kampung Ciketing, RT003/RW 003, Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
Dari tidur di atas tikar bekas tanpa bantal, ditambah basah kuyup akibat tampias air hujan yang masuk lewat celah-celah atap.
Mata para santri juga mengalami kesakitan lantaran kerap kemasukan serbuk campuran semen dan pasir akibat dinding tembok masih kasar belum 'aci'.
Ketika berada di lantai dua, para santri tidak bisa leluasa. Sedikit lengah saja berisiko jatuh ke bawah. Tingginya sekitar 3,5 meter karena pagar di balkon tak kokoh. Tak ada biaya terpaksa menggunakan bambu sebagai tiang penyanggah guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan tetapi rasa takut jatuh tetap membayangi anak-anak yatim di sana.
Tidak ada donatur yang rutin menopang kehidupan sehari-hari para anak yatim di Pondok Pesantren Nurjadiid. Setiap hari para santri juga rela bergantian memulung di sekitar tempat pembuangan sampah.
Barang-barang bekas yang dipungut dijual ke lapak. Hasilnya digunakan untuk menopang biaya konsumsi sehari-hari.
Dapur yang digunakan untuk memasak juga masih gubuk kini sudah reyot termakan usia. Sering bocor jika hujan turun. Tidak memiliki uang untuk membangun ataupun hanya sekadar renovasi.
Begitulah gambaran sekilas tentang Pondok Pesantren Nurjadiid. Arti dari nama Nurjadiid adalah Cahaya Baru. Ini adalah satu-satunya pondok pesantren yang berdiri di tengah kepungan gunung sampah Bantargebang.
Ada sekitar 250 anak di sana, namun yang bisa ditampung hanya sebagian karena tempat dan biaya terbatas. Di sana para anak yatim belajar ilmu agama. Sementara ilmu pengetahuan umum lainnya juga ada.
Pendiri Pondok Pesantren Nurjadiid  bernama Saung Galing. Pemuda berusia 28 tahun ini membangun rumah bagi anak-anak yatim setelah hijrah dari masa kelamnya sebagai seorang anak punk.