Mendengar kabar bahwa tokonya terbakar habis, Fei segera pulang ke kota.
Dalam perjalanan pulang yang memakan waktu sehari, Fei akhirnya tiba di kota dan dengan tergesa-gesa menuju toko kesayangannya yang berperan sebagai satu-satunya sumber pendapatan.
Begitu dia sampai di toko itu, ada rasa sedih dan kecewa yang sangat mendalam. Dia menangis dengan keras, dunia seakan runtuh. Dadanya sesak dan dia berharap itu hanyalah sebuah mimpi buruk.
Para tetangga mencoba menghibur tetapi Fei tampaknya terlalu larut dalam kesedihan dan tidak mampu untuk menerima semua itu. Hasil usaha kerasnya selama puluhan tahun menjadi abu dalam waktu semalaman.
Semenjak hari itu, dia menjadi sangat kurus karena hanya makan sedikit saja. Dia hanya melewatkan hari dengan termenung. Masih diingatnya ketika tokonya ramai, banyak waktu dan keringat dicurahkan dalam usaha itu.
Kondisi Fei semakin memburuk selama beberapa bulan. Dia hanya bangun dan makan sedikit sekali. Tidak banyak yang dilakukan setiap harinya selain duduk meratapi nasib.
Hingga suatu hari hadirlah seorang pemuda yang sangat bijaksana ke rumah Fei. Dia menjenguk dan menanyakan keadaan Fei.
“Apa kabar Suhu Fei?”
Fei menarik napas panjang dan menghembusnya dengan berat.
“Saya sangat sedih. Ingin saya meninggal dunia saja.”
Pemuda itu melihat air muka Fei yang sangat putus asa.