Kita bisa melihat kembali kondisi lingkungan sekitar kita seperti sanitasi lingkungan. Ketika kita berbicara mengenai sanitasi lingkungan, maka kita tentu akan melihat berbagai aspek yang ada. Aspek aspek seperti kualitas air, kesehatan masyarakat, dan pengolahan sampah menjadi sebuah topik yang menarik. Namun, di balik aspek aspek ini, kita tidak bisa melupakan aspek lainnya, yaitu Tempat Pembuangan Akhir atau yang saat ini terkenal dengan sebutan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu ( TPST ). TPST merupakan salah satu bagian penting dari sanitasi lingkungan, yang kita lupakan. Melihat dari rantai sanitasi, TPST letaknya di belakang, setelah proses pengangkutan, transport, dan penampungan akhir.
TPST dibangun pada dasarnya adalah untuk menjadi bagian dari solusi bagi salah satu proses dari sanitasi, yaitu agar sampah bisa dikelola dengan baik. Hal ini pada akhirnya tentu bertujuan agar masyarakat ini memiliki sanitasi yang baik, lingkungan yang baik, sehingga tercipta kesehatan yang baik pula. Saat ini jumlah masyarakat meningkat diiringi dengan limbah yang semakin bertambah, tetapi kapasitas TPST terbatas, dan sampah yang diterima pun seringkali sudah melebihi kapasitas dari TPST itu sendiri.
Melihat ke TPST terbesar di Jogjakarta, yaitu TPST Piyungan, kondisi saat ini sudah tidak memadai. Sistem pengolahan limbah yang sudah tidak berjalan ( Hanya dengan penambahan bahan kimia yang tidak menyelesaikan masalah ), kapasitas TPST yang tidak memadai lagi, dan lindi yang kemudian sering bocor menimbulkan masalah. TPST Piyungan Jogja dekat dengan kali Opak di mana alirannya tentu akan mengalir ke sana. Saat ini pun buangan limbah yang tidak terolah itu langsung dibuang ke sungai tanpa pengolahan. Selain itu, ternak sapi bebas di TPST Piyungan, padahal menurut Permen PY no. 3 tahun 2013, faktanya tetap banyak ternak sapi di TPST. Studi oleh Atifin, et al tahun 2005 tentang kandungan logam berat pada tubuh sapi yang digembalakan di TPST menunjukkan bahwa bisa dipastikan sapi di TPST tercemar logam berat. Hasil penelitian menunjukan bahwa logam berat Pb, Hg, dan Cd terdeteksi tinggi di atas angka batas. Masalah lain yang kemudian timbul adalah kesehatan masyarakat sekitar dan masyarakat banyak. Sapi yang tercemar logam berat ini tentu akan bahaya jika dikonsumsi oleh manusia. Data tahun 2011 dari puskesmas Piyungan menunjukkan bahwa penyakit kulit seperti dermatitis dan eksema masih diderita warga sebanyak 682 orang. Lalu pertanyaan besarnya, apakah TPST yang semula menjadi harapan bagi masyarakat untuk menjadi solusi, tetap menjadi solusi atau justru menjadi masalah? Hal ini sebenarnya bisa menjadi refleksi bersama kita warga provinsi DIY, terutama kota Sleman, Bantul, dan Jogjakarta. Lalu bagaimana solusi atas permasalahan ini?
Dari paparan di atas, kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya TPST yang merupakan bagian dari solusi sebenarnya bisa benar-benar menjadi bagian dari solusi kita. Apakah TPST kemudian harus menjadi kontreversi lagi? Ataukah TPST justru bisa menjadi bagian dari harapakan kita? Baiknya melalui peringatan hari air tanggal 22 Maret 2017, kita bisa bertindak untuk mengubah dunia menjadi lebih baik
William Wijaya, Mahasiswa Fakultas Bioteknologi
Universitas Kristen Duta Wacana, Yogjakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H