Masalah krisis listrik masih menghantui banyak daerah di negeri ini. Tak terkecuali dialami pula beberapa wilayah di Kalimantan Barat yang masih berkutat mengatasi persoalan krisis listrik berkepanjangan. Dari data yang diperoleh sampai dengan Maret 2016, Kalimantan Barat hanya memiliki pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang 582 Megawatt (MW) sementara beban puncak di malam hari mencapai 484 MW. Rasio pemenuhan daya listrik di Kalimantan Barat baru mencapai 79,7% dan masih di bawah angka rata-rata nasional sebesar 84,12%.
Dari data yang ada, wilayah Kal-Bar masih diliputi beberapa Kabupaten yang belum teraliri listrik secara memadai di antaranya adalah Kabupaten Putusibau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Ketapang, dan Kabupaten Bengkayang termasuk pula di antaranya wilayah perbatasan antara kedua negara, Indonesia dan Malaysia bagian timur (Sarawak). Sebelum terjadi perjanjian jual-beli listrik interkoneksi Indonesia dan Malaysia persoalan krisis listrik bahkan masih dialami di wilayah Ibu Kota Pontianak serta Pemerintahan Kota di Kalbar.
Akibat minimnya pasokan energi listrik tersebut, tak heran jika pemadamanan listrik secara bergilir pun masih terus dialami oleh warga.
Mengatasi persoalan krisis listrik di Kal-Bar ini Pemerintah RI melalui PT. PLN akhirnya mengambil langkah pasti untuk membeli pasokan energi listrik dari SESCO (penyedia listrik Negara Malaysia) guna memenuhi defisit energi listrik berkepanjangan yang dialami masyarakat Kal-Bar.
Interkoneksi kedua Negara ini terjadi pada 20 Januari 2016 antara Gardu Induk tegangan Extra Tinggi (GITET) Bengkayang Kal-Bar dan GITET Mambong milik SESCO Malaysia berdasarkan perjanjian Power Exchange Agreement (PEA) antara PT. PLN Indonesia dan pihak SESCO Malaysia. Dalam kesepakatan tersebut kedua belah pihak melakukan perjanjian jual-beli listrik selama kurun waktu 25 tahun ke depan.
Impor arus listrik dari Malaysia ini diakui justru lebih menguntungkan. Harga listrik Malaysia dinilai jauh lebih murah, yaitu hanya berkisar Rp. 1.200 per Kwh saja sesudah dikurskan ke dalam rupiah dan dijual ke masyarakat Kal-Bar hanya dengan harga Rp. 900 per Kwh dengan beban subsidi Negara sekitar Rp.200 per Kwh.
Walau masih menuai pro dan kontra, solusi mengatasi krisis listrik dengan kebijakan impor listrik murah Malaysia ini sudah mulai dirasakan dampaknya pada beberapa wilayah di Kal-Bar yang saat ini mulai terbebas dari masalah byarpet listrik namun sekaligus menjadi ‘Pekerjaan Rumah’ yang besar bagi kita untuk lebih mandiri memanfaatkan secara maksimal sumber-sumber energi baru yang tersedia untuk menanggulangi kebutuhan listrik di dalam negeri.
Keseriusan pemerintah pusat agar Indonesia segera keluar dari krisis energi listrik berkepanjangan sebenarnya layak untuk diapresiasi antara lain dengan program listrik 35.000 MW yang terus digulirkan diikuti dengan diterbitkannya regulasi-regulasi baru tentang percepatan pembangunan infrastruktur kelistrikan dan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan secara maksimal sampai ke daerah-daerah.
Implementasi di segala penjuru tentu saja sangat diharapkan agar kita segera keluar dari krisis energi listrik berkepanjangan.***