Adanya penolakan RUU Cipta Kerja salah satunya karena RUU ini memiliki tujuan deregulasi dari peraturan-peraturan yang ada seperti relaksasi aturan ketenagakerjaan, pelonggaran Daftar Negatif Investasi (DNI), Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan lain-lain. Kekhawatiran terhadap deregulasi ini dapatlah dipahami. Bagaimana tidak? Dalam sejarah Indonesia sendiri memang ada beberapa pengalaman deregulasi yang masih menyayat hati dan traumatis.
Yang paling pertama adalah deregulasi larangan investasi asing melalui UU PMA tahun 1967. Sebagai konteks, Pemerintah saat itu baru saja mengalami krisis ekonomi yang parah di mana tingkat inflasi mencapai 635% pada tahun 1966. Untuk melakukan rehabilitasi ekonomi, Pemerintah mentransformasi ekonomi menjadi lebih liberal dan mengandalkan swasta dibanding masa sebelumnya yang sangat mengandalkan BUMN. Dengan reformasi ini, inflasi turun hingga ke bawah 10% dan ekonomi tumbuh dari yang hanya satu koma persen ke atas 6%. Sayangnya, pelonggaran ini juga menjadi awal cerita dari masuknya Freeport ke Papua. Sehingga kekayaan alam milik tanah Papua yang begitu besar dikuasai oleh asing setidaknya sejak tahun 1967 hingga 2018. Tentu kisah pilu tidak hanya mengenai tidak menguntungkannya kontrak karya terhadap Indonesia selama berpuluh-puluh tahun namun bagaimana rakyat Papua tidak dipandang sebagai pemangku kepentingan utama dalam urusan ini hingga masih dalam posisi terbelakang saat ini.
Lanjut ke yang kedua, deregulasi perbankan tahun 1983. Konteksnya, saat itu boom minyak telah usai sehingga Pemerintah perlu mencari cara lain untuk menggerakan ekonomi yang tidak melulu bergantung pada APBN. Didoronglah intermediasi keuangan seperti relaksasi batas kredit serta dipermudahnya syarat pembukaan bank beserta cabangnya. Alhasil, kredit tumbuh hingga 45% di tahun 1990 dan berhasil menggerakan roda ekonomi. Namun yang terjadi di balik itu sebenarnya adalah moral hazard di mana bank banyak didirikan demi membiayai proyek-proyek sendiri. Lebih parahnya, pinjaman-pinjaman didominasi oleh pinjaman Dollar untuk membiayai proyek berpendapatan Rupiah, mismatch! Ketika terjadi depresiasi Rupiah dari 2,500 ke 16,000, hutang membengkak banyak perusahaan bangkrut, tidak mampu membayar kredit. Terjadilah krisis keuangan tahun 1998. Sekali lagi, kisah pilu tidak hanya tentang pertumbuhan ekonomi yang negatif namun menjalarnya krisis keuangan menjadi krisis sosial. Yang mengalami kerugian bukan hanya para pelaku moral hazard tapi juga masyarakat kecil yang tidak tau-menau, yang dijarah tokonya, dibunuh hingga diperkosa.
Cerita deregulasi dalam skala signifikan yang ketiga bisa jadi adalah yang kita hadapi saat ini, RUU Cipta Kerja. Konteksnya cukup mirip, Pemerintah perlu mencari cara untuk menggerakan ekonomi lebih cepat. Dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi hanya tumbuh di kisaran 5%. Ekonomi Indonesia tengah terperangkap. Karena sisi pasokan mengalami deindustrialisasi, ekonomi tidak bisa tumbuh lebih cepat tanpa mengimpor. Akibatnya neraca berjalan Indonesia selalu defisit di kisaran 2-3% dari PDB. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan ini menyebabkan penyerapan tenaga kerja terhambat. Mengacu ke data BPS, pengangguran di Indonesia sebelum krisis terjadi mencapai 6.88 juta orang dan yang bekerja di sektor informal sebesar 74 juta orang. Pemerintah sedang butuh gebrakan.
Sampai di sini penulis seakan-akan bermaksud memasukan deregulasi melalui RUU Cipta Kerja ke kotak peristiwa yang traumatis. Apakah demikian? Tidak juga, belum tentu.
Pertama, deregulasi sendiri punya justifikasi dari ilmu ekonomi terutama dari mazhab neo klasik. Dalam sudut pandang ini, intervensi pemerintah akan menyebabkan alokasi sumber daya tidak berada pada titik optimalnya. Intervensi akan menyebabkan pengusaha "terpaksa" merekrut dan membayar faktor produksi di atas pertambahan hasil marjinalnya.
Kedua, Pemerintah juga tidak hanya mengupayakan deregulasi sebagai jalan satu-satunya untuk mengatasi permasalahan di atas. Hal ini terbukti dari Survey Kegiatan Dunia Usaha yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Sebelum tahun 2014, faktor penghambat utama realisasi investasi yang dikeluhkan oleh dunia usaha selain suku bunga adalah infrastruktur (18.7%) dan perizinan (16.9%). Namun semenjak tahun 2014, responden yang menganggap infrastruktur sebagai penghambat turun cukup drastis hingga hanya sekitar 10.8% pada tahun lalu. Sebaliknya, perizinan semakin dirasakan menghambat realisasi investasi hingga 19.6% responden dan bahkan 21.5% pada tahun 2018.
Untuk penutup, ada justifikasi yang cukup bagi Pemerintah untuk melakukan deregulasi baik secara teoritis maupun empiris. Namun seperti peribahasa the devil is in the detail - hal yang kecil bisa berpengaruh dan menjadi masalah - gelombang penolakan RUU Cipta Kerja menjadi indikasi beberapa hal memang perlu untuk kembali didiskusikan dan disepakati bersama. Dua hal yang bisa dipelajari dari pengalaman di atas: (i) jangan sampai demi kepentingan makro, ada kelompok yang termarjinalkan; (ii) jangan demi kepentingan ekonomi jangka pendek, kepentingan jangka panjang diabaikan. Tidak perlu buru-buru mengesahkan RUU ini apalagi sampai ditargetkan harus selesai akhir bulan Agustus ini. Zaman sekarang memang membutuhkan yang serba cepat tapi bukan yang gegabah. Lagi pula, siapa sih yang mau investasi jor-joran dalam situasi krisis seperti ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H