Isu penyadapan Jokowi, Rumor rencana mundurnya walikota Surabaya dan penyerangan posko NASDEM di Aceh merupakan fenomena yang terjadi menjelang pemilu 2014. Namun bila mencoba berpikir negatif tentang ketiga hal tersebut maka kita akan menemukan kesamaan yang begitu mencengangkan.
Pertama, isu penyadapan yang dilakukan di rumah dinas Jokowi.
Menurut politisi PDIP Tubagus Hasanuddin , penemuan alat penyadap dikediaman Jokowi telah terjadi sekitar 2-3 bulan sebelum berita tersebut menyeruak ke publik. Pertanyaannya mengapa hal ini baru terdengar belakangan ? bahkan pihak Jokowi sampai bungkam hingga hitungan bulan ? Bercermin dari penyadapan yang dilakukan pihak Australia kepada beberapa petinggi negara, maka hal tersebut adalah hal yang wajar. Petinggi negara gituloh. Tetapi pada Jokowi ? apa saja yang ingin diungkap dari mantan walikota Solo ini ?.
Jokowi sendiri sempat mempertanyakan hal ini saat wawancara dengan dengan wartawan pada kamis , 20 Februari lalu. Dirinya sempat berujar ‘ yang mau disadap dari saya apa sih ? ngga ada apa-apanya’. Ungkapan Jokowi ini sangat bersifat ambigu bila menilik dari isu penyadapan dan kesiapannya untuk maju pada pilpres nanti. Kesan yang pertama dari ucapan Jokowi tersebut adalah, ia secara tidak langsung mengingkari adanya penyadapan di kediaman Dinasnya, hal ini sangat sesuai dengan sikap Jokowi yang selama ini tidak suka membuat sensasi atau memancing spekulasi publik. Kesan yang kedua adalah litotes politik ketika Jokowi mengucapkan kalimat ngga ada apa-apanya . Dalam kajian psikologis kalimat litotes yang keluar dari mulut seseorang memiliki 2 tujuan yang berbeda. Pertama menampilkan kesan sederhana atau ingin menunjukan suatu kelebihan terlebih Jokowi adalah seorang publik figur yang dikenal oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia maka kalimat tersebut seolah hanya menguatkan keunggulan Jokowi hingga ia harus mengalami penyadapan.
Di sisi dari beberapa hal diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari isu penyadapan tersebut tidak hanya berpusat pada Jokowi, terlebih pernyataan juga ikut keluar dari politisi PDIP lainnya. Bila ini memang bagian dari pencitraan maka spekulasi yang paling dekat dengan realita adalah pencitraan yang dilakukan oleh partai dengan menggunakan kepopularitasan kadernya.
Kedua, isu pengunduran diri Risma sebagai walikota Surabaya
Tri Rismaharini adalah salah satu aset politik paling menjual yang dimiliki oleh PDIP selain Jokowi. Selain itu Risma juga memiliki track record yang sangat baik dalam hal kepemimpinannya di Surabaya. Namun belakangan masyarakat dikejutkan dengan isu pengunduran diri Risma yang diduga akibat dari tidak harmonisnya hubungan jebolan ITS ini dengan wakilnya, Whisnu Sakti Buana.
Namun menilik dari apa yang terjadi 3 tahun lalu yaitu di tahun 2011 , Risma pernah diterpa isu pemakzulan setelah ketua DPRD Surabaya Whisnu Wardhana menurunkan Risma dengan hak angketnya. Uniknya hal ini juga didukung oleh fraksi PDIP yang notabene sebagai partai yang mengusung namanya.
What’s wrong ?
Isu pemakzulan pada 2011 lalu tidak menyulutkan sepak terjang Risma dalam membangun kota Surabaya namun tiga tahun berlalu dan isu pengunduran diri Risma menjadi pertanyaan hebat yang menuai banyak speklulasi. Spekulasi paling santer adalah aksi Introducting yang dilakuan Risma pada seluruh masyarakat Indonesia dengan cara memancing opini publik atas isu kemundurannya sebagai Walikota Surabaya. Hal ini sangat jelas terasa apalagi alasan pengunduran diri yang tidak begitu kritis yang hanya menjadikan wakilnya sebagai tameng. Padahal isu pemkazulan 2011 lalu jsutru merupakan masalah yang lebih besar bagi Risma tetapi mengapa 3 tahun berjalan ia tetap legowo ?
Sama halnya dengan isu penyadapan terhadap Gubernur DKI Joko Widodo, kesan pencitraan atas isu pengunduran Risma kini berhembus kencang. Tetapi hal ini perlu menjadi kajian tersendiri melihat keduanya berasal dari payung yang sama yaiut, PDIP.
Ketiga, penyerangan posko caleg NASDEM di Aceh.
Penyerangan terhadap Posko Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang dilakukan Organisasi Tidak Kenal (OTK), di jalan Line Exxon Mobil desa Kunyet Mule, Kecamatan Matangkuli, Kabupaten Aceh Utara, Minggu (16/1) dinihari lalu menjadi salah satu fenomena politik yang terjadi menjelang pemilu.
Tetapi apa yang janggal ?
Pertama, penyerangan yang dilakukan tersebut tidak menimbulkan korban jiwa alias hanya luka ringan yang dialami oleh  Adnan Sahril (27), Saipul Junaidi (28) dan Sarkawi (31). Ketiganya kader Nasdem yang bermalam di posko tersebut. Bila memang ini murni penyerangan yang dilakukan suatu kelompok yang terorganisir maka tentu penyerangan pasti akan menimbulkan korban jiwa atau paling tidak luka berat.
Namun mengapa hanya luka memar dan lecet ?
Terlebih diketahui pelaku penyerangan menggunakan senapan laras panjang jenis M16 dan A1. Kedua jenis senapan ini adalah merupakan senapan otomatis yang kerap digunakan untuk melakukan kontak senjata. Menenteng MI6 dan A1 namun tidak melukai ? kelompok bersenjata macam apa ini?
Kedua, pemberitaan
MetroTV adalah salah satu stasiun televisi yang paling gencar menayangkan aksi penyerangan tersebut, bahkan sampai beberapa kali dalam jeda waktu yang cukup singkat. Menurut penuturan beberapa saksi serta beberapa pengamat politik yang diminta untuk berbicara perihal penyerangan ini kalimat yang dilontarkan hampir sama. Yaitu ‘teror yang dilakukan kepada partai NASDEM yang mengusung perubahan adalah bentuk kekerasan menjelang pemilu yang seolah menjadikan NASDEM sebagai sasaran utama’. Padahal Nasdem adalah partai baru yang belum mempunyai kursi di DPR bahkan bukan salah satu partai yang diperhitungkan. Mengapa harus menyerang Nasdem dan bukan PDIP atau Golkar yang notabene sebagai dua partai yang dikuatkan dalam pemilu nanti bila penyerangan memang mengandung motif politis?
Ketiga , dimana korban penyerangan ?
Menurut laporan kepolisian dan juga saksi mata, ada tiga korban penodongan dalam penyerangan tersebut namun ketiga korban tersebut tidak pernah dishot kamera, salah seorang korban malah hanya berbicara via telepon dengan suara yang biasa-biasa saja. Apa luka yang ditimbulkan memang ada ?
Dari ketiga hal di atas ( Jokowi, Risma dan Nasdem) maka dapat disimpulkan bahwa manuver politik menjelang pemilu tidak lagi dapat diduga-duga bila kita hanya melihat suatu permasalahan dari satu sisi. Â Manuver-manuver seperti ini perlu menjadi kajian tersendiri pada kita untuk memilih calon pemimpin yang pantas dan memang benar-benar ingin membawa rakyat Indonesia ke arah kemajuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H