Agak geli memang ketika seorang lelaki membuat tulisan dengan 'pelacur' sebagai tema utamanya. Kata itu benar-benar sensitif apalagi dikaitkan dengan urusan moral. Terlebih pelacuran kerap disandingkan dengan kelakuan lelaki hidung belang, lelaki yang memenuhi syahwat dengan bermodalkan materi. Tetapi mau tidak mau, sebagai objek sasar prakter pelacuran, hanya kaum lelaki yang dapat menyelam ke dasar pemikiran para pelacur ini untuk secara utuh menarik kesimpulan dari setiap aktivitas prostitusi mereka.
Dalam banyak referensi sejarah, pelacuran sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Dahulu istilah pelacuran menjadi lazim karena budaya perbudakan, di kalangan para budak, praktek ini merupakan hal biasa dan tidak pernah dipertentangkan.
Tetapi bila ditelisik lebih dalam, praktek prostitusi ini terjadi pula di kalangan kasta teratas dan menimbulkan dampak yang lebih besar dalam merubah alur peradaban.
Contohnya dalam masa kekuasaan Cleopatra yang menggunakan prakter pelacuran dirinya sendiri untuk transaksi politik, juga tentang bagaimana Ratu Mary di Inggris yang konon banyak melibatkan diri dalam urusan yang serupa.
Hari ini, jika berkutat pada definisi umum maka akan lebih banyak prakter pelacuran yang terjadi dan tanpa kita sadari dan siapapun penulisnya, mereka akan berhadapan dengan protes keras dari kalangan sosialis; menggunakan definisi umum itu hanya akan membuka fakta bahwa pelacuran sedang terjadi di mana-mana, bahkan media informasi dengan leluasa menunjukan aktifitas tersebut dalam kemasan yang lebih menarik.Â
Maka untuk menentukan siapa para pekerja seks yang sedang kita bahas, terlebih dahulu kita perlu mempersempit definisi pelacuran dengan mengategorikannya hanya kepada prakter-prakter yang terorganisir dan melibatkan banyak orang yang saling terikat satu sama lain.
Jika selama ini praktek pelacuran menjadikan masalah sosial ekonomi sebagai dalilnya dan kepuasan seksual sebagai tujuannya, maka pada perkembangan hari ini, prostitusi telah bermetamorfosis sebagai ladang bisnis yang menguntungkan dan melibatkan orang-orang penting sebagai subjeknya, yang oleh karena hal ini, secara simultan merubah arah tujuan prostitusi itu sendiri.
Prostitusi kemudian menjadi alat membangun relasi, perluasan network, sampai pada kesepakatan bisnis besar hingga ada istilah "Sex-win solution" dalam semesta bisnis besar di Ibukota.
Dandri Saban (bukan nama sebenarnya) seorang jurnalis yang juga salah satu anggota dari komunitas peduli HAM yang meneliti kasus kekerasan terhadap perempuan pasca orde baru, di tahun 2018 lalu dia secara intens membangun komunikasi dengan para pekerja seks kota besar di tanah air. Dari PSK kelas teri sampai kelas ecek-ecek.Â
Dia pun menemukan fakta bahwa beberapa PSK yang melibatkan diri dalam organisasi pelacuran sama sekali tidak mengalami masalah ekonomi, banyak di antara mereka yang sudah hidup berkecukupan bahkan salah satu narasumber Dandri, Cassandra (nama samaran) adalah seorang komisaris di salah satu perusahaan ternama di Jakarta.
Cassandra, perempuan cantik asal Sumatera itu menuturkan kisah yang cukup membuat Dandri tercengang. Dia (Cassandra) sama sekali bukan dari keluarga pas-pasan, tidak pula hidup di lingkungan keras, sebaliknya dia merupakan anak salah satu tokoh terpandang di Sumatera.