Mohon tunggu...
Ndhy Rezha
Ndhy Rezha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Pemula

Social Argument , better thing

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ogah Minta Maaf, Habib Bahar Melawan Stigma?

3 Desember 2018   12:03 Diperbarui: 3 Desember 2018   12:43 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ogah minta maaf, Habib Bahar melawan 'stigma?'

Video ceramah Habib Bahar bin Smith di Darusallam ceper batu, Tangerang, yang tersebar luas ke publik, membuat lelaki berambut pirang tersebut akhirnya dipolisikan oleh DPD Jokowi mania (Jo-man) atas tuduhan penghinaan terhadap presiden. Menanggapi hal tersebut, Habib Bahar selaku terlapor menganggapi dengan santai. Bahkan menegaskan tak akan meminta maaf atas statemennya tersebut.

"Lebih baik membusuk di penjara daripada harus minta maaf." Tegas Habib Bahar

Benar adanya bila Habib Bahar telah melakukan pelecehan terhadap nama seorang kepala negara. Dalam video berdurasi 60 detik itu, Habib Bahar secara terang-terangan melontarkan kata-kata kasar yang langsung ditujukan kepada presiden Jokowi. Hal yang seketika memancing reaksi keras publik, terutama DPD JO-MAN selaku simpatisan dan timses Jokowi-Ma'ruf.

Apa yang dilakukan Habib Bahar tentu bukan hal yang patut dicontoh. Pelecehan verbal terhadap pihak manapun tidak dapat dibenarkan, terlebih pelecehan itu ditujukan kepada presiden RI yang notabene merupakan kepala sekaligus simbol negara.

Namun dalam kasus Habis Bahar kali ini, ada hal yang berbeda bila dibandingkan dengan beberapa kasus pelecehan atau penghinaan yang belakangan marak terjadi. Ketika berbagai macam pelecehan terhadap agama, simbol negara dan individu selalu berakhir dengan kata 'maaf' dan penyesalan, Habib Bahar malah berlaku sebaliknya. Habib Bahar menolak untuk minta maaf bahkan sesumbar lebih pilih membusuk di penjara.

Berkaca dari banyaknya kasus penghinaan di sosial media yang telah sampai di kepolisian, 'minta maaf' kerap menjadi solusi ampuh untuk lepas dari jerat hukum.  Kasus penistaan agama lewat puisi oleh Sukmawati Soekarnoputri misalnya, ketika membaca puisi dengan penuh pendalaman sehingga terlihat begitu dramatis, malah ujungnya mengaku menyesal ketika dipolisikan sampai-sampai mencium tangan mantan ketua MUI sekaligus cawapres nomor 1, Makruf Amin, sebagai tanda permohonan maaf. Ada pula kasus Steven yang menghina mantan Gubernur NTB yang juga berakhir dengan permintaan maaf.

Berbagai macam kasus penghinaan yang kemudian memancing reaksi publik hanya bermuara pada satu alternatif jalan keluar yaitu 'permohonan maaf' sehingga 'maaf' dalam hal ini perlahan-lahan melahirkan stigma buruk serta menjadi sebuah anti-klimaks dalam proses hukum di negara ini. Terlalu banyak kata maaf dalam kasus penghinaan yang kemudian berakhir dengan jalan damai, justru membuat kasus serupa marak terjadi karena kurangnya efek jera yang ditimbulkan oleh hukum itu sendiri. Hina sana hina sini, tinggal minta maaf masalah selesai.

Habib Bahar yang menolak minta maaf merupakan sebuah warna yang berbeda. Habib Bahar tahu betul konsekuensi dari statemen kerasnya terhadap pemerintahan serta Jokowi secara pribadi sehingga ketika berhadapan dengan hukum, dia seakan memiliki dalil untuk tidak meminta maaf.  Dalam hal ini, Habib secara tegas menunjukan keberanian dan konsistensi atas ucapannya, bentuk pertanggungjawabannya pun adalah membiarkan proses hukum itu berjalan bukan dengan meminta maaf seperti yang kerap terjadi dalam beberapa kasus-kasus yang serupa.

Banyaknya kasus penghinaan yang kemudian berakhir dengan jalan damai dengan meminta maaf tidak hanya menunjukan lemahnya penegakkan hukum atas kasus tersebut, tetapi di sisi lain juga menunjukan lemahnya dalil seseorang untuk melakukan sebuah tindakan. Permintaan maaf dalam kasus 'kritik' justru menegaskan kurang atau tidak adanya pemahaman atas statemen yang dilontarkan sehingga penghinaan itu tidak memiliki dalil sebagai tindak preventif untuk kemudian berpotensi dibenarkan oleh hukum ataupun asumsi publik.

Tindakan Habib Bahar telah melampaui rambu-rambu etika dan moral, tetapi di sisi lain dia telah menunjukan sebuah tindak pertanggungjawaban yang elegan sebagai seorang yang mengkritik penguasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun