Film Past Lives menghabiskan dana sebanyak 12 juta dolar USA. Ia tidak hanya menghadirkan romansa, tetapi juga memperlihatkan bagaimana perjuangan seorang perempuan untuk naik kelas. Juga rasa bangga sebagai bangsa Korea Selatan.
Tidak banyak film Korea Selatan yang menghadirkan kebanggaan sebagai seorang perempuan. Apalagi citra sebagai perempuan yang setara dengan laki-laki. Kebanyakan drakor (drama korea) menggambarkan perempuan adalah yang paling harus mengurus segala urusan domestikasi. Urusan domestik yang menjebak.
Tidak jarang pula, perempuan adalah hiasan dari kesuksesan laki-laki. Rupa mereka harus cantik, langsing, dan penuh dengan kemewahan. Nyaris, hiasan ini tidak mempunyai isi kepala. Tidak jarang, mereka lebih rebut dengan perselingkuhan dibandingkan gagasan besar.
 Past Lives berbeda. Sang pencerita menghadirkan perempuan yang naik kelas. Tidak cengeng. Lebih meributkan gagasan. Ide-ide besar itu tertumpah berserakan dalam naskah drama.
Selain itu, ia setara dengan laki-laki. Nyaris tidak akan kita dapati Nora menyuguhkan masakan untuk laki-laki. Ia betul-betul mewah duduk sama tinggi dengan laki-laki Eropa untuk bertukar gagasan. Tidak ada citra sebagai seorang perempuan yang terjebak dalam urusan domestik.
Kesetaraan kelas memang hanya tumbuh di tempat yang mengizinkan untuk tumbuh. Dia bermekaran. Keputusan orang tuanya tepat untuk meninggalkan Korea Selatan. Hidup mereka terjebak dengan rutinitas, kenyamanan hidup, dan melupakan impian besar. Lompat keluar agar dapat naik kelas.
Keputusan tepat lainnya adalah saat melupakan Hae Sung. Baginya, cinta bukan sesuatu yang membelenggu. Mereka terpenjarakan dalam nikmat mabuk. Saling memperhatikan dan mempedulikan. Ia lupa untuk menulis naskah-naskah drama. Ide-ide besar tidak hadir lagi. Ambisi besar meraih penghargaan Nobel tertunda sementara waktu.
Ia pun melepaskan belenggu. Menaruhnya dalam ingatan. Menguncinya tanpa ingin mengunjungi sementara waktu. Ia berjalan lagi. Mengkhianati impian masa kecil yang diceritakan ke ibunya. Ia menggenggam uluran tangan laki-laki lain. Menunggunya di seberang jalan. Lalu menjelma menjadi sebuah rumah yang hangat buat Nora.
Perempuan itu tidak bergeming. Hae Sung datang. Ia mengetuk pintu museum ingatan itu sekali lagi. Nora terlanjur sudah berjalan jauh sekali. Bocah laki-laki itu cukup sebagai ingatan yang perlu diantar pulang menuju bandara.Â
Â
Pada titik ini, dia bisa memilih untuk ikut pulang ke Korea Selatan. Namun, tempat itu hanya persinggahan. Bukan sebagai tempat hangat buat memelihara ide besar untuk perempuan. Di sana, maskulinitas laki-laki tumbuh subur.
Perempuan itu lebih memilih tetap di New York. Hidup bersama Arthur. Â Tempat yang dipercaya bahwa gagasannya akan dipelihara. Bukan tempat pertengkaran hari ini akan makan apa dan bagaimana terjebak dalam rutinitas mencari uang.