Mohon tunggu...
William Gunawan
William Gunawan Mohon Tunggu... Dokter

Pundit dan Dokter. Sedang berdomisili di Mandori, Biak-Numfor

Selanjutnya

Tutup

Bola

Gonjang Ganjing Shin Tae-Yong

1 Februari 2024   13:58 Diperbarui: 1 Februari 2024   14:05 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian orang merasa gelisah. Pasalnya, pelatih timnas Indonesia, Shin Tae-Yong (STY), belum memperpanjang kontrak. Pelatih berkebangsaan Korea Selatan ini akan pergi Juni 2024.


Kepastian pergi belum terjawab. Banyak orang tiba-tiba suka dengannya. Ibarat topi sulap, ia betul-betul hadir membawakan kita harapan baru. Dia membawa Indonesia melaju sampai babak 16 besar Piala Asia.


Sebelumnya, kita tidak pernah merasakan euforia bahagia. Ikut ramai saja bermain bola di dunia internasional sudah ramainya minta ampun. Kita paling banter agak ganas di turnamen Piala AFF. Langganan juara kedua di turnamen sepakbola se-Asia Tenggara.


STY datang membawa harapan baru. Kita tidak lagi menatap AFF. Kaki kita ingin dicengkram merasakan atmosfer kompetisi dunia. Asia dulu, mungkin belakangan Piala Dunia. Setidaknya, itu impian kita selama ini.


Luis Milla dan Simon Mc Menemy sebagai pelatih, tidak bisa memuaskan keinginan suporter Indonesia. Ingin menang, kalau bisa membantai, dan membawa Piala kejuaraan. Nafsu serakah itu ditanamkan betul. Tanpa tahu bagaimana sesungguhnya sepakbola itu berproses.


Berproses itu butuh waktu. Membutuhkan paling banyak energi dalam berpikir. Tidak ada cara instan untuk sampai pada sebuah proses.
Kedua mantan pelatih sebelum era STY pun terhempas. Dia datang bersama dengan timnya. Pelan-pelan kerja-kerja yang bisa dibilang beresiko datang.


Kita masih ingat bagaimana dia memotong generasi. Juga mendatangkan berjibun pemain naturalisasi. Dua keputusan ini membuat banyak orang-orang berkicau.


Pendapat terbelah. Lahir istilah Lokal Pride. Jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia kurang lebih kebanggaan lokal. Isu ini terus bergulir. Pemain liga Indonesia tidak menjadi prioritas STY dalam membangun tim.


Dari 26 daftar nama yang dibawa. Setidaknya, kita bisa melihat bagaimana pengalaman jam terbang bermain di luar negeri menjadi skala prioritas. 11 pemain yang bergantian main juga demikian. Mereka punya jam terbang di liga Eropa dan liga Asia.


Setidaknya, Ernando Ari dan Yacob Sayuri asli pemain liga Indonesia. Keduanya tidak pernah diganti dalam posisi sebelas pemain pilihan STY. Ricky Kambuaya dan Rizky Ridho yang bergantian mengisi komposisi starting eleven. Sisanya, pemain Liga Indonesia menjadi pemain cadangan yang menghangatkan bangku cadangan.


Asnawi Mangkualam dan Pratama Arhan pamain non-naturalisasi. Keduanya pernah menjadi bagian dari Liga Indonesia. Sekarang, mereka bermain di liga Asia. Lain cerita dengan Egy Maulana dan Witan Sulaeman yang memutuskan pulang ke liga Indonesia.


Pos yang dianggap vital diisi oleh pemain naturalisasi. Tiga pemain bertahan, Elkan Baggot, Sandy Walsh, Jordi Amat, lebih sering bermain di menit awal. Justin Hubner dan Ivan Jenner mengisi gelandang jangkar. Rafael Struick tidak pernah tergantikan sebagai pemain penyerang timnas Indonesia.


Para pemain pilihan Shin Tae-Yong ini pilihan. Tidak serta merta langsung dipilih. Pun tidak ada proses seleksi yang menggemparkan. Kita cuman tahu beberapa pemain senior tidak dipilih. Apalagi kalau cuman bermain di Liga Indonesia.


Banyaknya klub dan deretan liga tidak juga membuahkan pemain bagus. Pemain-pemain asing masih datang. Mereka bahkan menjadi prioritas. Segala fasilitas rela didatangkan untuk pemain asing. Gaji mereka juga mahal.


Saya kurang tahu pasti motivasi mereka bermain di Indonesia. Michael Essien, salah satunya. Pemain juara Eropa ini pernah mencecap Persib Bandung. Entah apa motivasi dari mantan pemain Chelsea dan Real Madrid ini datang ke Liga Indonesia. Pada akhirnya, dia hanya bisa menikmati memotong rumput lapangan sepakbola saja.


Kesungguhan memang tidak pernah hadir di Liga Indonesia. Mereka dinilai asal-asalan membentuk sebuah klub. Tidak jarang kita mendengar para klub Liga Indonesia menunggak gaji para pemainnya. Ingin berprestasi, tetapi minim pendanaan.


Kita juga masih sulit melihat pemain berkembang dengan sebagaimana harusnya. Pembibitan pemain dan pemusatan pelatihan acap kadul tidak mendatangkan hasil yang sepadan. Para pemain lebih memilih beralih. Pilihan menjadi pegawai negeri sipil, tantara, dan polisi menjadi pilihan menggiurkan. Pemain sepakbola tidak memiliki masa depan di usia senja.


Problem mendasar ini tidak kita temui di Liga-Liga Eropa. Mereka menjadi pesohor dan publik figur. Ini terjadi sebab sepakbola sudah menjadi industri. Pemain tidak hanya menjadi bermain bola, tetapi juga meraup keuntungan pendapatan. Para investor ingin pundi investasi menghasilkan keuntungan berlimpah. Mulai dari hak siar, iklan sponsor, dan masih banyak lainnya.


Kesungguhan betul hadir. Kita semua menyadari itu. Orang-orang juga ingin memilih sepakbola sebagai bagian dari masa depan mereka. Kita tidak pernah melihat orang-orang berputus asa lalu meninggalkan sepakbola menjadi pilihan. Setidaknya, pilihan itu masih menjadi harapan.


Perhelatan Piala Asia menjadi titik balik. Dari semua serba asal-asalan berubah lebih mengedepankan kebutuhan pelatih. Para pemain naturalisasi hadir sesuai dengan kebutuhan tim. Bukan sebagai penghargaan telah lama bermain di liga Indonesia. Para pencari pemain betul-betul paham karakter para pemainnya. Tidak hanya bagus di lapangan, melainkan juga kehidupan di luar lapangan.


Dia benar-benar hadir membawa perubahan. Kalau ingin ikut ke timnas Indonesia harus ini harus itu. Tidak ada boleh titipan. Mungkin itu yang ingin ditampilkan oleh Shin Tae-Yong. Keputusan ini juga didukung oleh pemerintah dan jajaran Asosiasi Sepakbola Indonesia (PSSI).


Kabarnya, mata dunia melihat tangan dingin STY. Mungkin 4 tahun sudah terlalu lelah di Indonesia. Tingginya politik dan celoteh-celoteh tidak jelas membawa beban tersendiri. Ia sudah punya tawaran baru melatih di tempat lain.


Juni 2024 adalah waktu yang cepat. Banyak orang berharap sang pelatih tetap bertahan. Kita semua tahu sebaliknya, jarang seorang pelatih memilih bertahan pada satu tempat. Ia terus berpindah, belajar, dan menaklukkan tantangan baru. Bisa gagal bisa juga berhasil. Juga menghasilkan titik buta yang baru.


Titik buta itu akan selalu hadir. Tidak bisa mengelak. Para komentator tidak akan bisa kita bungkam. Setidaknya, monumen itu sudah berdiri. Tinggal bagaimana kita membuat itu menjadi kokoh. Tetapi, apakah sudah kokoh momumen timnas Indonesia yang hadir tanpa pondasi liga Indonesia yang berkualitas? Silahkan jawab sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun