WillemWandikOfficial - Memori passionis tentang sejarah kelam peristiwa kematian kerabat keluarga di Tanah Papua (orang orang melanesia berambut keriting dan berkulit gelap), akibat konflik bersenjata, dari generasi ke generasi, membentuk "tembok pembatas" cara pandang dan paradigma rakyat di Tanah Papua tentang peran kekuasaan negara..
Setiap kematian dan darah yang tertumpah di Tanah Papua sebagai akibat dari konflik bersenjata, menjadi tangisan "tembok ratapan" sebagaimana tangisan orang-orang Yahudi di tembok Yerussalem.. Jangan hakimi keimanan dan keyakinan OAP terhadap ajaran Injil yang dipegang teguh olehnya, karena hanya melalui "pesan-pesan Tuhan Allah" sajalah, yang masih terus setia, merawat "kedamaian" di hati para hamba Tuhan di Tanah Papua..Â
Oleh sebab itu, tidak ada manusia di Republik ini yang lebih menginginkan kedamaian sejati, selain Orang Asli Papua itu sendiri.. Namun, seringkali benturan antara interaksi ruang hidup Orang Asli Papua terhadap Cara "egois/egosentris" Negara bekerja, dan juga begitu "ekstensifnya" pemanfaatan sumber daya alam di ruang hidup OAP, terkadang tidak pernah memberikan mereka pilihan untuk terhindar dari tragedi kemanusiaan, yang mengakibatkan kepunahan secara perlahan OAP di negerinya sendiri..
Sungguh merupakan sebuah ironi, dalam catatan kependudukan Orang Asli Papua sebelum Pepera 1969, sampai era hari ini, penambahan jumlah penduduk OAP secara eksponensial tidak pernah terjadi.. Bahkan tercatat dalam banyak rangkuman pelayanan Gereja, jumlah populasi OAP justru mengalami penurunan secara gradual..
Masalah yang dihadapi di Tanah Papua tentunya sangat disadari betul oleh setiap OAP yang memiliki hati dan pikiran yang bersih.. Tanpa terkecuali atensi Abang Lukas Enembe yang harus menghadapi kenyataan pahit, bahwa pada akhir dari periode pertama masa kepemimpinannya sebagai Gubernur Papua (Desember 2018), dirinya harus menghadapi peristiwa konflik bersenjata di Tanah Papua..
Dalam memori ingatan kami, semasa operasi militer dimulai di Kabupaten Nduga, kami bersama-sama Abang Lukas Enembe berusaha menghentikan pengerahan personil militer dalam jumlah yang besar, karena kekhawatiran akan munculnya perluasan konflik yang tidak bisa dikendalikan.. Dan semua kekhawatiran itu menjadi kenyataan, yang membuat sulitnya untuk mencapai perdamaian, selama lebih dari 5-6 tahun sesudahnya, sejak konflik dimulai pada akhir tahun 2018 silam..
Saat itu, Abang Lukas Enembe bersama kami yang bekerja melalui Fraksi Partai Demokrat di Senayan RI, berusaha mencari jalan damai, dengan mengikuti cara adat dan kebiasaan OAP menyelesaikan konflik dalam perang suku yang lazim terjadi.. Tidak lupa pula, pendekatan "damai" melalui peran Gereja juga hendak dilibatkan.. Namun, "collateral damage" yang ditimbulkan dari ketidakbijaksanaan para pemimpin nasional mengirim operasi militer, membuat kerusakan "mental konflik" yang parah dan membuat situasi damai semakin sulit untuk dicapai..
Sebagai OAP pegunungan yang paham dengan tradisi perang suku di negeri-negeri Papua, kami menyadari betul arti pentingnya "keputusan adat", dan itu pula yang menjadi jalan tengah, mengapa gerakan politik etis kolonial Belanda sebelum 1969, berhasil memperkenalkan Ajaran Injil ke banyak tempat sulit di Tanah Papua, dan memulai transformasi besar yang merekonstruksi kembali karakter asli masyarakat Papua, untuk mulai mengikuti ajaran perdamaian yang di ajarkan oleh Kristus Raja Damai..
Kiprah para Kader terbaik Demokrat untuk melindungi setiap orang di Tanah Papua tercatat dalam perjalanan sejarah Tanah Papua.. Sebuah slogan yang sampai hari ini masih kami pegang teguh, yang menjadi motto utama Abang Lukas Enembe menjaga perdamaian di Tanah Papua di masa hidup dan pengabdiannya.. "Satu Nyawa itu sangat berharga di Tanah Papua".. Maka dengan dilandasi pada niat yang tulus itulah, beliau tidak pernah takut menghadapi masalah seberat apapun, untuk memastikan hak hidup setiap orang terjaga dan terjamin..
Memang tidak mudah bagi orang luar memahami karakter kehidupan OAP.. Maka dari itu, segala upaya untuk mempertahankan integrasi kedalam pangkuan Republik, tidak boleh dilakukan dengan setengah hati, lebih memilih cinta dengan "opportunity" kekayaan sumber daya yang menjadikan Tanah Papua sebagai surga kecil di bumi, namun, memilih untuk menolak dan mengabaikan, untuk menerima secara utuh "tanpa syarat" kehadiran eksistensial manusia manusia Ras Berkulit Gelap dan Berambut Keriting dengan karakter budaya yang dimilikinya..