Mohon tunggu...
Willem Wandik. S.Sos
Willem Wandik. S.Sos Mohon Tunggu... Duta Besar - ANGGOTA PARLEMEN RI SEJAK 2014, DAN TERPILIH KEMBALI UNTUK PERIODE 2019-2024, MEWAKILI DAPIL PAPUA.

1969 Adalah Momentum Bersejarah Penyatuan Bangsa Papua Ke Pangkuan Republik, Kami Hadir Untuk Memastikan Negara Hadir Bagi Seluruh Rakyat di Tanah Papua.. Satu Nyawa Itu Berharga di Tanah Papua..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sistem Proporsional Tertutup Pemilu 2024: "Setan" yang Merusak Demokrasi Indonesia

6 Januari 2023   10:02 Diperbarui: 8 Januari 2023   16:58 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

WILLEM WANDIK (KETUA UMUM DPP GAMKI) - Wacana pemilihan logo partai "dalam sistem proporsional tertutup" sebagai pengganti pemilihan orang/figur/calon "dalam sistem proporsional terbuka" pada pemilu di tahun 2024, berawal dari pernyataan ketua KPU RI yang mengingatkan seluruh peserta pemilu 2024 akan adanya "potensi" perubahan skema pemilu 2024, sebagai akibat dari gugatan di Mahkamah Konstitusi.. Dasar gugatan di MK terkait perombakan sistem proporsional terbuka menjadi sistem tertutup itu disebabkan oleh alasan sosiologis "studi money politic dan tingginya cost kampanye" ketika sistem proporsional terbuka "pencalonan orang/tokoh/figur" di laksankan dalam pemilu..

Namun, alasan tersebut tidak sepenuhnya benar, bahkan dipastikan menyesatkan "logika demokrasi", sebab, alasan money politic dan high cost politic itu bukan berasal dari "sistem pencalonan orang/figur", melainkan berasal dari faktor "budaya politic" dan "mekanisme pasar politik" yang merupakan variabel yang di import dari kecenderungan "politik transaksional"..

Masalah "budaya politic = transaksional" itu berdiri "independen" dan tidak memiliki alasan kausalitas dengan sistem pemilihan orang/figur, dan perubahan ke sistem proporsional tertutup "dengan memilih logo parpol ansich", tidak melepaskan "potensi" money politic dan politic transaksional dalam pelaksanaan pemilu, sebab, perubahan ini hanya memindahkan, tempat transaksi politic dari caleg - ke pemilih, ke transaksi caleg ke oligarki partai politik..

Politic transaksional itu sekali lagi adalah masalah "kultur politic" bukan tentang cara/skema/metode yang diterapkan untuk penyelenggaraan pemilu..

Usulan merubah sistem proporsional terbuka dalam pemilu 2024, menjadi sistem proporsional tertutup, merupakan perwujudan dari elitisme demokrasi, dimana rakyat tidak lagi terlibat menentukan figur/tokoh yang layak mereka perjuangkan menjadi representasi "kepentingan konstitusional" mereka di pemilu.. Melainkan diserahkan kepada "oligarki" partai, untuk menentukan, siapa yang boleh atau tidak boleh mewakili suara konstituen rakyat dalam pemilu..

Determinasi elitisme oligarki partai inilah yang kemudian dipastikan menjadi "setan demokrasi", yang berusaha mencuri "hak elektoral" rakyat, melalui permainan metode/skema pemilu, yang pada dasarnya, mengkudeta hak berdaulat rakyat Indonesia menentukan figur yang pantas mewakili mereka dalam lembaga representasi parlemen di Indonesia..

Perlu kami ingatkan kepada Mahkamah Konstitusi, juga terhadap pelaksana pemilu dalam hal ini KPU RI, bahwa, asal usul pembentukan lembaga parlemen adalah disebabkan alasan fungsi representasi kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan elitisme partai.. Posisi partai tidak boleh dibenturkan dengan fungsi kedaulatan rakyat dalam pemilu.. Baik itu organisasi partai maupun representasi kedaulatan rakyat, merupakan dua hal, yang saling melengkapi, bukan untuk dipertentangkan, terlebih lagi dengan alasan yang sangat "dangkal", menyoal masalah money politic dan politic transaksional, menjadi alasan menghapus fungsi kedaulatan rakyat untuk memilih langsung figur/tokoh di dalam penyelenggaraan pemilu..

Jika opsional, proporsional tertutup tetap dipaksakan, maka, penyelenggaraan pemilu di tahun 2024 mendatang akan menjadi penanda, hilangnya kedaulatan rakyat, dimana pada esensinya partisipasi rakyat "komponen masyarakat" terlibat dalam pemilu, pada dasarnya untuk memperjuangkan tokoh/figur yang mereka kenali (baik berdasarkan latar belakang budaya/rekam jejak/asal usul daerah/maupun kebersamaan dalam membangun komunikasi politik), bukan justru menyerahkan pilihan kepada oligarki elitis partai, yang bertentangan dengan keinginan dan aspirasi partisipatif rakyat yang menghendaki keterpilihan sosok figur yang dikehendaki langsung oleh rakyat.. Wa Wa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun