Wakil Bangsa Papua - Di Tahun 2016 ini, Freeport telah menyepakati pembangunan smelter pemurnian anode slime yang dibangun dikawasan Gresik, Jawa Timur. Pembangunan pemurnian anode slime tersebut dijalankan bersama-sama antara PT. Freeport Indonesia, PT. Aneka Tambang dan PT. Smelting Gresik dengan kapasitas produksi mencapai 6000 Ton anode slime pertahunnya, dengan target menghasilkan produk olahan emas berbentuk dore/ emas batangan yang mencapai 60 Ton pertahunnya (setiap 100 Ton anode slime dapat menghasilkan 1 Ton produk dore/ emas batangan).
Pertanyaannya, apa itu anode slime? anode slime sendiri merupakan produk limbah yang berasal dari hasil pemurnian konsentrat tembaga dengan menghasilkan produk utama berbentuk copper cathode yang mengandung 99,99% tembaga/Cu. Sehingga pembangunan pabrik anode slime bertujuan untuk melanjutkan proses pemurnian produk anode slime agar dihasilkan produk olahan berbentuk emas batangan/ atau dikenal dengan dore.
Pro kontra realisasi pembangunan proyek smelter/ pabrik pemurnian PT. Freeport Indonesia menjadi isu utama yang dipersoalkan oleh rakyat di Tanah Papua, karena Pemerintah Pusat lebih memberikan dukungan regulasi dan pendanaan untuk mensukseskan ambisi pembangunan sejumlah pabrik pemurnian/ smelter di luar daerah penghasil tambang (Tanah Papua). Fakta dukungan Pemerintah Pusat dalam bentuk regulasi dapat dilihat dengan diterbitkannya produk Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2015 yang isinya secara spesifik mengatur pembebasan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN 10%) terhadap produk anode slime. Produk regulasi berbentuk Peraturan Pemerintah tersebut diterbitkan oleh Presiden Jokowi di tanggal 22 Desember 2015. Regulasi ini diterbitkan oleh Presiden bukannya tanpa sebab, justru kronologis penerbitan PP pembebasan pajak PPN produk anode slime, diawali dengan adanya pertemuan jauh hari sebelumnya yang dilakukan oleh direktur utama PT. Aneka Tambang (Antam) Tato Miraza, bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla di istana Wapres, pertanggal 12/12/2014, yang isinya menjelaskan permintaan PT. Antam agar Pemerintah memberikan fasilitas kemudahan perpajakan bagi perusahaan yang berniat mengembangkan pabrik pemurnian anode slime. Bentuk dukungan Pemerintah tersebut berupa penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN 10%) terhadap produk olahan anode slime.
Realitasnya penghapusan pengenaan pajak PPN terhadap produk olahan anode slime telah dilindungi oleh Peraturan Pemerintah yang diterbitkan Presiden di bulan Desember 2015, sekalipun Pemerintah melalui Menteri Keuangan mengumumkan target penerimaan negara dari sektor perpajakan di Tahun Anggaran 2015 mengalami defisit Rp 300 Triliun. Sebuah keputusan Presiden yang benar-benar patut dipandang berani dan nekat, untuk menghapus pengenaan pajak PPN ditengah-tengah kelesuan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Kenekatan ini juga patut disayangkan oleh rakyat di Tanah Papua, sebab dukungan berbentuk regulasi yang disertai sejumlah kemudahan fasilitas perpajakan tidak diperuntukkan bagi pembangunan pabrik pemurnian di Tanah Papua (komitmen Presiden terhadap distribusi keadilan pembangunan di koridor ekonomi Papua patut dipertanyakan). Pada kenyataannya dukungan regulasi Pemerintah tersebut dipaksakan kenekatannya untuk memuluskan pembangunan smelter di koridor ekonomi Jawa yang telah crowded/ padat dengan industri manufaktur berkelas internasional.
Untuk mewujudkan aspirasi rakyat Papua membangun smelter pemurnian di tanahnya sendiri, tentunya tidaklah mudah. Sebab dibutuhkan sumber pendanaan yang tidak sedikit jumlahnya, disatu sisi sumber pendanaan yang berasal dari anggaran rutin otsus dan APBD masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur dasar dan kebutuhan pelayanan pemerintahan di Tanah Papua. Sehingga tampak mustahil apabila Pemerintah Daerah di Tanah Papua justru direkomendasikan oleh Pusat untuk mencari dukungan pendanaan sendiri agar pembangunan smelter dapat direalisasikan di Tanah Papua. Sekalipun ada potensi pembiayaan utang dari lembaga keuangan internasional seperti Asian Development Bank (ADB) ataupun China Development Bank (CDB), namun sumber pembiayaan utang luar negeri tersebut hanya diperuntukkan bagi perusahaan nasional berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini dijelaskan dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2015 Pasal 1 huruf 1 dimana permintaan utang kepada lembaga pembiayaan internasional dapat diberikan jaminan Pemerintah Pusat apabila dilakukan antara lembaga keuangan internasional dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dalam sejumlah regulasi yang diterbitkan oleh Pemerintah, tampak kebijakan Presiden Jokowi hanya menguntungkan ekspansi kepentingan bisnis yang dijalankan oleh Perusahaan Nasional yang mengutamakan sentralisasi industri di koridor ekonomi Pulau Jawa, dan tidak sedikitpun memberikan dukungan bagi Pemerintah Daerah/ rakyat daerah seperti di Tanah Papua untuk mewujudkan pembangunan industri di daerahnya dalam rangka mendorong pemerataan pembangunan di koridor ekonomi Papua. Tanah Papua tidak hanya membutuhkan pembangunan jalan, jembatan, lapangan terbang, dan pelabuhan, yang hanya berperan sebagai basic infrastruktur. Lebih dari itu, Tanah Papua membutuhkan lokomotif industri untuk menggerakkan perekonomian daerah dan menciptakan siklus ekonomi penting bagi tersedianya prospek lapangan pekerjaan dan penyerapan tenaga-tenaga terdidik yang berasal dari putera-puteri terbaik di Tanah Papua.
Terdapat alasan yang cukup kuat mengapa Pemerintah Pusat mendukung pembangunan pabrik pemurnian anode slime di daerah Gresik Jawa Timur dan bukan di Tanah Papua. Sebab sejak februari 1996 (awal konstruksi) – finalisasi konstruksi Tahun 2006, di wilayah Gresik, telah dibangun pabrik peleburan dan pemurnian tembaga untuk pertama kalinya dan merupakan satu-satunya di Indonesia dengan kapasitas produksi yang mencapai 300.000 Ton pertahun berbentuk produk olahan “copper cathode”. Pabrik pemurnian copper cathode di daerah gresik tersebut didirikan oleh PT. Freeport Indonesia bersama-sama Perusahaan konsorsium Jepang, dan pengoperasiannya diserahkan kepada Mitsubishi Corporation. Saat ini pabrik pemurnian copper cathode tersebut berada dibawah bendera PT. Smelting Gresik.
Dari tahun ke tahun, fasilitas pemurnian copper cathode yang dikelola oleh PT. Smelting Gresik mengalami permintaan yang cukup besar di pasar Asia Tenggara. Sehingga kapasitas pemurnian konsentrat tembaga yang saat ini telah beroperasi di kawasan PT. Smelting akan diperkuat lagi dengan hadirnya investasi tambahan dari PT. Freeport Indonesia yang bernilai USD 2 miliar atau setara dengan Rp 26,68 Triliun (referensi kurs 11/06/2016 13.339 Rp/USD) untuk membangun pabrik baru pemurnian konsentrat tembaga dengan tambahan kapasitas produksi yang mencapai 2 Juta Ton/tahunnya (2.000.000 Ton/tahun).
Selain target bisnis untuk memenuhi permintaan produk olahan copper cathode yang berasal dari pemurnian konsentrat tembaga, terdapat nilai komersial lain yang menjadi incaran perusahaan nasional seperti PT. Aneka Tambang yaitu prospek bisnis dari pemanfaatan limbah anode slime menjadi produk olahan berbentuk emas batangan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, proses pemurnian produk limbah anode slime akan menghasilkan mineral berharga lainnya yang jauh lebih mahal dibandingkan copper cathode, berupa emas batangan/ dore.