Mohon tunggu...
willem wandik
willem wandik Mohon Tunggu... Anggota DPR RI -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tanah Papua Dilupakan, Dukungan APBN dan Regulasi Presiden Percepat Pembangunan Smelter Freeport di Gresik

14 Juni 2016   02:33 Diperbarui: 14 Juni 2016   04:41 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk menghapus pengenaan pajak PPN dan memberikan dukungan Penyertaan Modal Negara yang berasal dari APBN kepada PT. Antam sebesar Rp 3,5 Triliun untuk membangun smelter pemurnian anode slime yang akan memproses limbah konsentrat tembaga menjadi emas di kawasan industri Gresik. Sayangnya kenekatan Presiden mengambil keputusan dengan kebijakan penghapusan pajak PPN ditengah-tengah defisit penerimaan pajak negara yang mencapai Rp 300 Triliun ditujukan untuk membangun industrialisasi di koridor ekonomi Jawa. Tanah Papua semakin ditinggalkan, dan hanya dijadikan lahan eksploitasi mineral mentah, yang justru menciptakan lapangan pekerjaan yang sangat besar di luar Tanah Papua (sumber tulisan: willemwandik.com, sumber gambar: diedit dari freeport-indah pratiwi-pandansurya wijaya)

Wakil Bangsa Papua - Di Tahun 2016 ini, Freeport telah menyepakati pembangunan smelter pemurnian anode slime yang dibangun dikawasan Gresik, Jawa Timur. Pembangunan pemurnian anode slime tersebut dijalankan bersama-sama antara PT. Freeport Indonesia, PT. Aneka Tambang dan PT. Smelting Gresik dengan kapasitas produksi mencapai 6000 Ton anode slime pertahunnya, dengan target menghasilkan produk olahan emas berbentuk dore/ emas batangan yang mencapai 60 Ton pertahunnya (setiap 100 Ton anode slime dapat menghasilkan 1 Ton produk dore/ emas batangan).

Pertanyaannya, apa itu anode slime? anode slime sendiri merupakan produk limbah yang berasal dari hasil pemurnian konsentrat tembaga dengan menghasilkan produk utama berbentuk copper cathode yang mengandung 99,99% tembaga/Cu. Sehingga pembangunan pabrik anode slime bertujuan untuk melanjutkan proses pemurnian produk anode slime agar dihasilkan produk olahan berbentuk emas batangan/ atau dikenal dengan dore.

Pro kontra realisasi pembangunan proyek smelter/ pabrik pemurnian PT. Freeport Indonesia menjadi isu utama yang dipersoalkan oleh rakyat di Tanah Papua, karena Pemerintah Pusat lebih memberikan dukungan regulasi dan pendanaan untuk mensukseskan ambisi pembangunan sejumlah pabrik pemurnian/ smelter di luar daerah penghasil tambang (Tanah Papua). Fakta dukungan Pemerintah Pusat dalam bentuk regulasi dapat dilihat dengan diterbitkannya produk Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2015 yang isinya secara spesifik mengatur pembebasan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN 10%) terhadap produk anode slime. Produk regulasi berbentuk Peraturan Pemerintah tersebut diterbitkan oleh Presiden Jokowi di tanggal 22 Desember 2015. Regulasi ini diterbitkan oleh Presiden bukannya tanpa sebab, justru kronologis penerbitan PP pembebasan pajak PPN produk anode slime, diawali dengan adanya pertemuan jauh hari sebelumnya yang dilakukan oleh direktur utama PT. Aneka Tambang (Antam) Tato Miraza, bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla di istana Wapres, pertanggal 12/12/2014, yang isinya menjelaskan permintaan PT. Antam agar Pemerintah memberikan fasilitas kemudahan perpajakan bagi perusahaan yang berniat mengembangkan pabrik pemurnian anode slime. Bentuk dukungan Pemerintah tersebut berupa penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN 10%) terhadap produk olahan anode slime.

Realitasnya penghapusan pengenaan pajak PPN terhadap produk olahan anode slime telah dilindungi oleh Peraturan Pemerintah yang diterbitkan Presiden di bulan Desember 2015, sekalipun Pemerintah melalui Menteri Keuangan mengumumkan target penerimaan negara dari sektor perpajakan di Tahun Anggaran 2015 mengalami defisit Rp 300 Triliun. Sebuah keputusan Presiden yang benar-benar patut dipandang berani dan nekat, untuk menghapus pengenaan pajak PPN ditengah-tengah kelesuan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Kenekatan ini juga patut disayangkan oleh rakyat di Tanah Papua, sebab dukungan berbentuk regulasi yang disertai sejumlah kemudahan fasilitas perpajakan tidak diperuntukkan bagi pembangunan pabrik pemurnian di Tanah Papua (komitmen Presiden terhadap distribusi keadilan pembangunan di koridor ekonomi Papua patut dipertanyakan). Pada kenyataannya dukungan regulasi Pemerintah tersebut dipaksakan kenekatannya untuk memuluskan pembangunan smelter di koridor ekonomi Jawa yang telah crowded/ padat dengan industri manufaktur berkelas internasional.

Grafik 1. Dukungan Pendanaan APBN Berbentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) Untuk Mendukung Ekspansi PT. Antam Membangun Smelter Dan Membeli Saham Freeport, 2015 (Sumber: PMN 2015)
Grafik 1. Dukungan Pendanaan APBN Berbentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) Untuk Mendukung Ekspansi PT. Antam Membangun Smelter Dan Membeli Saham Freeport, 2015 (Sumber: PMN 2015)
Selain dukungan penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui regulasi yang diterbitkan oleh Presiden, ekspansi smelter di daerah gresik oleh PT. Aneka Tambang juga di dukung dengan fasilitas permodalan yang bersumber dari APBN berbentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) yang mencapai Rp 3,5 Triliun (telah direalisasikan dalam APBN 2015). Kondisi ini justru berbeda, ketika Gubernur Papua bersama DPRP dan MRP mengajukan pembangunan smelter di Tanah Papua, justru dipersilahkan oleh Pemerintah Pusat untuk mencari sumber pendanaan sendiri (tidak ada jaminan dukungan pendanaan dari APBN). Seolah-olah rakyat dan Pemerintah Daerah di Tanah Papua bukan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan pembangunan smelter di wilayah Gresik yang di dorong oleh perusahaan nasional seolah-olah merepresentasikan kepentingan mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk mewujudkan aspirasi rakyat Papua membangun smelter pemurnian di tanahnya sendiri, tentunya tidaklah mudah. Sebab dibutuhkan sumber pendanaan yang tidak sedikit jumlahnya, disatu sisi sumber pendanaan yang berasal dari anggaran rutin otsus dan APBD masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur dasar dan kebutuhan pelayanan pemerintahan di Tanah Papua. Sehingga tampak mustahil apabila Pemerintah Daerah di Tanah Papua justru direkomendasikan oleh Pusat untuk mencari dukungan pendanaan sendiri agar pembangunan smelter dapat direalisasikan di Tanah Papua. Sekalipun ada potensi pembiayaan utang dari lembaga keuangan internasional seperti Asian Development Bank (ADB) ataupun China Development Bank (CDB), namun sumber pembiayaan utang luar negeri tersebut hanya diperuntukkan bagi perusahaan nasional berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini dijelaskan dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2015 Pasal 1 huruf 1 dimana permintaan utang kepada lembaga pembiayaan internasional dapat diberikan jaminan Pemerintah Pusat apabila dilakukan antara lembaga keuangan internasional dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

Dalam sejumlah regulasi yang diterbitkan oleh Pemerintah, tampak kebijakan Presiden Jokowi hanya menguntungkan ekspansi kepentingan bisnis yang dijalankan oleh Perusahaan Nasional yang mengutamakan sentralisasi industri di koridor ekonomi Pulau Jawa, dan tidak sedikitpun memberikan dukungan bagi Pemerintah Daerah/ rakyat daerah seperti di Tanah Papua untuk mewujudkan pembangunan industri di daerahnya dalam rangka mendorong pemerataan pembangunan di koridor ekonomi Papua. Tanah Papua tidak hanya membutuhkan pembangunan jalan, jembatan, lapangan terbang, dan pelabuhan, yang hanya berperan sebagai basic infrastruktur. Lebih dari itu, Tanah Papua membutuhkan lokomotif industri untuk menggerakkan perekonomian daerah dan menciptakan siklus ekonomi penting bagi tersedianya prospek lapangan pekerjaan dan penyerapan tenaga-tenaga terdidik yang berasal dari putera-puteri terbaik di Tanah Papua.

Terdapat alasan yang cukup kuat mengapa Pemerintah Pusat mendukung pembangunan pabrik pemurnian anode slime di daerah Gresik Jawa Timur dan bukan di Tanah Papua. Sebab sejak februari 1996 (awal konstruksi) – finalisasi konstruksi Tahun 2006, di wilayah Gresik, telah dibangun pabrik peleburan dan pemurnian tembaga untuk pertama kalinya dan merupakan satu-satunya di Indonesia dengan kapasitas produksi yang mencapai 300.000 Ton pertahun berbentuk produk olahan “copper cathode”. Pabrik pemurnian copper cathode di daerah gresik tersebut didirikan oleh PT. Freeport Indonesia bersama-sama Perusahaan konsorsium Jepang, dan pengoperasiannya diserahkan kepada Mitsubishi Corporation. Saat ini pabrik pemurnian copper cathode tersebut berada dibawah bendera PT. Smelting Gresik.

Dari tahun ke tahun, fasilitas pemurnian copper cathode yang dikelola oleh PT. Smelting Gresik mengalami permintaan yang cukup besar di pasar Asia Tenggara. Sehingga kapasitas pemurnian konsentrat tembaga yang saat ini telah beroperasi di kawasan PT. Smelting akan diperkuat lagi dengan hadirnya investasi tambahan dari PT. Freeport Indonesia yang bernilai USD 2 miliar atau setara dengan Rp 26,68 Triliun (referensi kurs 11/06/2016 13.339 Rp/USD) untuk membangun pabrik baru pemurnian konsentrat tembaga dengan tambahan kapasitas produksi yang mencapai 2 Juta Ton/tahunnya (2.000.000 Ton/tahun).

Selain target bisnis untuk memenuhi permintaan produk olahan copper cathode yang berasal dari pemurnian konsentrat tembaga, terdapat nilai komersial lain yang menjadi incaran perusahaan nasional seperti PT. Aneka Tambang yaitu prospek bisnis dari pemanfaatan limbah anode slime menjadi produk olahan berbentuk emas batanganSeperti yang dijelaskan sebelumnya, proses pemurnian produk limbah anode slime akan menghasilkan mineral berharga lainnya yang jauh lebih mahal dibandingkan copper cathode,  berupa emas batangan/ dore.

Grafik 2. Kebutuhan Pemurnian Konsentrat Tembaga Hingga Menghasilkan Produk Olahan Dore/Emas Batangan di PT. Smelting Gresik, 2011
Grafik 2. Kebutuhan Pemurnian Konsentrat Tembaga Hingga Menghasilkan Produk Olahan Dore/Emas Batangan di PT. Smelting Gresik, 2011
Berdasarkan grafik diatas, untuk menghasilkan produk olahan berbentuk copper cathode, dibutuhkan sumber konsentrat tembaga sebagai bahan baku yang selanjutnya diolah di pabrik pemurnian yang dikelola oleh PT. Smelting Gresik. Sebagai  bagian dari pemilik saham di perusahaan pemurnian tersebut, PT. Freeport Indonesia pun memenuhi kebutuhan pasokan konsentrat tembaga yang mencapai 70% (mencapai 656.000 Ton/tahun) dari kapasitas produksi yang dimiliki oleh PT. Smelting Gresik, sedangkan sisanya sebesar 30% (mencapai 281.142 Ton/tahun) di pasok oleh PT. Newmont Nusa Tenggara. Sehingga total konsentrat tembaga yang dapat di lebur di PT. Smelting Gresik mencapai 937.142 Ton/tahun. Dengan proses pemurnian konsentrat tembaga yang dilakukan di PT. Smelting Gresik, dapat diperoleh produk olahan berbentuk copper cathode (dengan kadar Cu 99,99%) mencapai 260.000 Ton/tahun. Selain produk utama yang berbentuk copper cathode, proses pemurnian tersebut juga menghasilkan limbah/lumpur anoda/anode slime yang mencapai 1800 Ton/tahun. Disetiap 100 Ton lumpur anoda/anode slime terdapat 1% kandungan emas yang dapat diekstraksi menjadi emas dore, sehingga potensi produk olahan emas batangan/dore yang didapatkan dari pemurnian produk limbah berbentuk anode slime yang diproduksi oleh PT. Smelting Gresik mencapai 18 Ton/tahunnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun