“Masa depan Nusantara akan sangat ditentukan oleh seberapa serius elit-elit Nasional mereformasi pendekatan ketatanegaraan bagi Tanah Papua, yang tentunya harus meninggalkan praktek sentralisasi dan pandangan mainstream orde baru” sumber tulisan: willemwandik.com, sumber foto: willemwandik gallery
Wakil Bangsa Papua - Puji syukur kita panjatkan atas limpahan kasih Tuhan Yesus Kristus, yang telah mempertemukan kita kembali dalam sebuah forum Rakerda Partai Demokrat yang diselenggarakan di wilayah paling timur nusantara, sebuah wilayah yang menjadi pintu terakhir penegasan kedaulatan dan cita-cita kemerdekaan republik yang digagas oleh para pendiri bangsa “the founding father” melalui peristiwa bersejarah dan menentukan di Tahun 1969, yang melahirkan integrasi rakyat dan bangsa Papua melalui referendum kedalam pangkuan negara kesatuan republik Indonesia yang kita cintai bersama.
Saya meyakini bahwa Tanah Papua menjadi kunci utama yang akan menentukan perjalanan sejarah bangsa-bangsa nusantara, ketika memasuki usia 100 Tahun berdirinya republik ini, yang merupakan fase pertama rekonsiliasi sejarah panjang bangsa Papua selama berintegrasi kedalam pangkuan republik. Sebagimana jika kita belajar dari perjalanan sejarah United States of America yang membangun negaranya sejak peristiwa Independence Day “proklamasi kemerdekaan” pada tanggal 4 Juli 1776 kemudian menghadapi masa-masa sulit konflik internal yang memicu “civil war of america” pada Tahun 1861-1865 yang menghadirkan perseteruan ideologi “perbudakan” antara kelompok yang menamakan diri sebagai negara konfederasi amerika yang mempertahankan perbudakan dan pusat pemerintahan Uni/Pemerintah (US) di Washington yang menolak perbudakan, sehingga setelah 101 Tahun masa Independence Day yang menandai berdirinya negara Republik Amerika Serikat (1776 – kompromi 1877), sejarah Amerika menemukan dirinya menjadi sebuah “nation” yang besar setelah berhasil melakukan rekonsiliasi nasional yang diawali oleh doktrin emansipasi Lincoln 1863, yang berakhir dengan kompromi pada tahun 1877.
Refleksi dari fase pertama rekonsiliasi United States of America yang diawali oleh peperangan besar diantara sesama anak bangsa Amerika, juga merupakan refleksi dari perjalanan sejarah rakyat dan bangsa Papua berdasarkan perspektif unifikasi bangsa-bangsa nusantara yang telah ditandai dengan momentum “independence day” pada 17 Agustus 1945 silam, di Jakarta. Pada tahapan rekonsiliasi yang memasuki 100 Tahun usia republik Indonesia, mensyaratkan adanya keterbukaan “opini”, koreksi “cara pandang”, dan rekonstruksi “ketatanegaraan” yang mengarahkan resolusi persoalan kebangsaan di Tanah Papua dengan pendekatan yang benar-benar “meninggalkan praktek sentralisasi dan monopoli yang selama ini menjadi penyakit Pemerintah Pusat”.
Penekanan frase masalah pada praktek berbau sentralisasi dan monopoli, terbukti dalam perjalanan sejarah yang dilaksanakan oleh orde baru (transisi supersemar 1966 – 1998), menjadi pemicu kemunduran pembangunan di daerah, seperti yang dialami oleh Tanah Papua. Jika pada saat itu terdapat pembangunan di kawasan nusantara, maka dipastikan pembangunan itu hanya terjadi di kawasan yang berdampingan dengan pusat Pemerintahan di Jakarta. Seluruh sumber daya investasi dan penanaman modal asing serta pinjaman utang luar negeri melalui lembaga-lembaga donor seperti IMF dan World Bank, ditujukan untuk membangun kawasan-kawasan utama di Pulau Jawa. Maka sentralisasi merupakan sumber penyakit dari kegagalan kekuasaan orde baru dimasa lalu untuk menghadirkan pembangunan yang berkeadilan dan mewujudkan pemerataan pembangunan bagi daerah seperti Tanah Papua.
Ketika era reformasi hadir, semangat pembaharuan yang menitikberatkan pada distribusi pembangunan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan keseluruh wilayah nusantara menjadi “isme” yang mempengaruhi praktek bernegara dan model kebijakan bernegara dari pusat hingga ke daerah-daerah. Salah satu momentum spesial yang dialami oleh Tanah Papua adalah lahirnya pengakuaan dalam sistem ketatanegaraan nasional terkait pelaksanaan pemerintahan daerah yang bersifat spesial “khusus” di Tanah Papua dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Konsep otsus Papua versi Tahun 2001 memang dipandang lebih baik dibandingkan pendekatan Pemerintahan Pusat terhadap urusan pemerintahan daerah di Tanah Papua pada era sebelum reformasi. Namun frase kalimat “dipandang lebih baik dibandingkan era orde baru” bukanlah “konsep ideal” atau “konsep terbaik” yang telah dicapai untuk memecahkan persoalan multisektoral di Tanah Papua. Melainkan sebagai kondisi yang dapat diterima apa adanya, sebagai sebuah hipotesa awal tentang bagaimana konsep membangun Tanah Papua yang sedang diujicobakan setelah 32 Tahun (1969-2001) menghadapi kenyataan praktek bernegara di Tanah Papua yang pernah terjebak dalam praktek sentralisasi oleh rezim orde baru di masa lalu. Harapan baru kemudian hadir di Tanah Papua setelah konsep orde baru (sentralisasi dan monopoli) berhasil ditumbangkan oleh para reformis di Tahun 1998 dan mendorong gelombang transisi nasional ke arah pemberian otonomi seluas-luasnya bagi daerah.
Diakui oleh elemen masyarakat asli Papua, setelah periode 15 Tahun masa pemberlakuan otsus Papua (2001-2016), tidaklah sesuai dengan harapan awal/ekspektasi rakyat Papua yang tergambar dari tingkat kemiskinan yang masih tinggi terhadap orang asli Papua, permasalahan infrastruktur yang masih mengalami defisit diberbagai sektor, high cost economy memicu inefesiensi penggunaan anggaran daerah yang banyak dihabiskan untuk mengkompensasi spending uang yang besar untuk memenuhi kebutuhan logistik dan harus mengorbankan tujuan utama pemanfaatan anggaran bagi pengentasan kemiskinan di masyarakat asli Papua, inflasi yang tinggi di kawasan-kawasan pedalaman yang dihuni oleh penduduk asli Papua menghadirkan ketidakpuasan terhadap warisan pembangunan yang hari ini sedang diupayakan oleh daerah maupun nasional karena pengabaian pembangunan yang telah berlangsung puluh tahun lamanya oleh rezim pusat dimasa lalu.
Permasalahan diatas merupakan refleksi perjalanan sejarah rakyat dan bangsa Papua dalam menghadapi pasang-surutnya kebijakan pusat terhadap berbagai persoalan domestik di Tanah Papua. Ditengah-tengah niat baik semua elemen berbangsa mencoba mereformulasi berbagai kebijakan bernegara dan sejauh mana setiap kebijakan pusat dapat meresolusi secara tepat berbagai persoalan di Tanah Papua, melalui momentum Rakerda Partai Demokrat (sebagai salah satu alat politik untuk memperjuangkan aspirasi rakyat Papua) seyogyanya dapat menjembatani kebuntuan komunikasi yang selama ini terjadi pada elemen elit pusat “elit-elit nasional” yang masih saja berpandangan konvensional “politik mainstream orde baru” yang memandang isu Tanah Papua sebatas persoalan kemananan nasional “isu separatisme” sehingga patut diwaspadai sebagai sebuah ancaman terhadap kepentingan nasional Indonesia.
Pada hari ini kita semua sedang berkumpul bersama-sama dalam sebuah forum Rakerda Partai Demokrat yang dilaksanakan disebuah tempat yang memiliki sejarah panjang dan penting bagi republik ini. Partai politik merupakan salah satu instrumen yang mewadahi kepentingan politik setiap warga negara. Partai politik merupakan terjemahan dari kehendak demokratis rakyat, untuk menyampaikan aspirasinya dalam sebuah negara demokratis. Partai politik seharusnya menjadi rumah aspirasi bagi seluruh rakyat untuk menyampaikan pandangan terbaiknya agar dapat diperjuangkan melalui mekanisme bernegara. Sejalan dengan itu, Partai Demokrat telah lama menjadikan referensi “will public” menjadi pedoman dalam menjalankan fungsi berpartai.
Partai Demokrat merupakan partai yang didirikan seiring lahirnya tuntutan reformasi 1998, yang diwarnai dengan ketidakpuasan terhadap praktek pemerintahan yang korup, kolutif dan nepotism, serta praktek sentralisasi urusan pemerintahan dan pembangunan yang dimonopoli oleh Pusat (memicu gelombang protes besar dari rakyat daerah yang meminta hadirnya desentralisasi kewenangan dan pemerataan pembangunan bagi daerah). Sehingga sebagai partai yang lahir dimasa-masa awal gelora reformasi hadir dalam kehidupan berbangsa, tentunya sangat mempengaruhi bagaimana Partai Demokrat meletakkan prinsip-prinsip berpartai dan berpolitik yang dibangun untuk mencapai tujuan reformasi politik dan ketatanegaraan nasional yang lahir bersamaan dengan lahirnya momentum reformasi.
Sudah saatnya berbagai elemen berbangsa di Republik ini untuk “mereset” kembali cara pandangnya tentang perjuangan rakyat dan bangsa Papua, yang harus menanggalkan pola berfikir yang sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh rezim militer yang berkuasa dimasa lalu, yang menempatkan isu Tanah Papua sebagai persoalan “keamanan nasional” yang masih saja mempengaruhi mentalitas penyelenggaraan bernegara yang digagas oleh Pemerintah Pusat pasca reformasi. Hal ini tentunya sangat disayangkan, sebab praktek bernegara dalam skala nasional telah banyak mengalami transisi, dan organ militer juga telah dituntut untuk melakukan reformasi secara institusional, namun dalam prakteknya di Tanah Papua, cara-cara lama dalam melihat persoalan Papua masih terus dipertahankan hingga hari ini.