DEP PU&PK DPP PD - Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengumumkan akan memangkas APBNP 2016 sebesar 133 Triliun. Opsi pemangkasan belanja APBNP 2016 bukanlah sesuatu yang aneh dan mengejutkan, sebab sejak awal postur belanja yang diajukan oleh Pemerintah di gedung parlemen beberapa bulan yang lalu terlihat mengabaikan indikator menurunnya harga komoditas ekspor utama Indonesia (minyak dan gas, batubara, pertambangan mineral, kelapa sawit, dll) yang sangat berdampak pada penurunan pendapatan negara dari sektor perpajakan yang berbasis ekspor sumber daya alam/komoditas.
Ketidakcermatan perhitungan risiko belanja APBN yang dirancang sangat ekspansif (dan berisiko) baik pada postur APBN 2016 dan APBNP 2016 justru sangat berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan pelaku usaha dalam negeri maupun luar negeri terhadap posisi keuangan Pemerintah. Ketidakseimbangan perhitungan penerimaan dan sektor belanja pemerintah terbukti menimbulkan revisi pemangkasan belanja APBN 2016 yang mencapai 50,02 Triliun (di dominasi pemangkasan dan pembatalan proyek-proyek belanja infrastruktur) dan mendorong revisi jilid kedua dalam APBNP 2016 yang mencapai 133 Triliun yang pengesahannya baru berlangsung kurang lebih dalam kurun waktu sebulan lamanya.
Ingatan publik masih fresh ketika Pemerintah mengumumkan pemangkasan 50,02 Triliun dalam pembahasan revisi APBN 2016 yang dijalankan atas dasar realisasi penerimaan pajak di dalam negeri yang tidak mencapai target yang dikehendaki Pemerintah. Dalam waktu yang bersamaan, Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro mengumumkan penguatan opsi (merumuskan exit tol masalah) dengan menjalankan Tax Amnesty sebagai alternatif bagi pemerintah untuk menambal kebocoran penerimaan negara dari sektor pajak. Pada awalnya Menteri Keuangan mendeskripsikan persoalan rendahnya penerimaan Negara dari sektor pajak dengan keyakinan akan dapat di tambal dari realisasi pengenaan tarif Tax Amnesty.
Dalam perspektif politic decision making, pemaparan teror defisit APBN secara berulang-ulang oleh Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro kepada parlemen bahwa APBN butuh diselamatkan dari kebangkrutan, mendorong parlemen untuk lebih lunak dalam mempercepat persetujuan RUU Tax Amnesty menjadi undang-undang. Dan momentum pemangkasan anggaran di periode pertama APBN 2016 menjadi stimulus yang menguatkan alasan Pemerintah untuk meminta persetujuan parlemen agar segera mengesahkan Undang-Undang Tax Amnesty.
Pada dasarnya rezim Tax Amnesty dibagi kedalam 3 periode pelaksanaan yang terdiri dari periode pertama pada bulan Juli – September 2016, periode kedua di bulan Oktober – Desember 2016, dan periode ketiga Januari – Maret 2017. Dari ketiga periode kerja penerapan Tax Amnesty tersebut, kunci kesuksesan penerapan Tax Amnesty diperkirakan akan sangat tergantung terhadap realisasi pengenaan tarif dengan instentif terbesar yang diterapkan pada periode pertama di bulan Juli - September 2016. Secara sederhana, para pemilik aset (calon wajib pajak) akan lebih memilih kompensasi pengenaan tarif yang paling murah untuk mengikuti program Tax Amnesty yang dijalankan oleh Pemerintah.
Secara faktual, performa pelaksanaan program Tax Amnesty melalui pendaftaran wajib pajak (WP) yang telah mengikuti program pelaporan aset baru hingga memasuki bulan Agustus 2016 tidak sebesar yang diharapkan oleh Pemerintah. Hal ini terlihat dari nilai aset yang dideklarasikan (aset yang diumumkan) hingga memasuki awal bulan Agustus 2016 oleh peserta wajib pajak hanya mencapai Rp 3,77 Triliun, dengan jumlah dana yang berhasil di repatriasi (dana yang dibawa masuk kedalam negeri) hanya mencapai Rp 583 miliar.
Menteri Keuangan di era Bambang Brojonegoro pernah secara berulang-ulang menyampaikan teror defisit APBN 2016 di semester satu 2016 (Januari – Juni 2016) yang mencapai Rp 230,7 Triliun, dengan estimasi penambahan defisit disetiap bulannya pasca pengumuman defisit di akhir bulan Juni yang akan bertambah senilai 42,7 Triliun (Sumber: Rapat Komisi XI dan Banggar, Juli 2016). Menilik secara cermat pelaksanaan Tax Amnesty yang memasuki bulan kedua di periode pertama penerapan Tax Amnesty yang hanya mampu mendeklarasikan aset senilai 3,77 Triliun dan nilai repatriasi dana mencapai 583 miliar (Sumber: Dirjen Pajak, 3 Agustus 2016), sejatinya performa perolehan Tax Amnesty masih sangat jauh dari keyakinan Pemerintah untuk menambal potensi defisit penerimaan negara yang diumumkan oleh Menteri Keuangan yang terus bertambah disetiap bulannya mencapai 42,7 Triliun pasca bulan Juni.
Secara sederhana pertanyaan tersebut mengandung kebenaran, bahwa seharusnya pemotongan anggaran yang dilakukan oleh Menteri Keuangan pada era Sri Mulyani otomatis mendongkrak performa defisit APBN ke angka yang jauh lebih kecil. Namun faktanya berbicara berbeda, dimana kondisi keuangan APBN selama ini terlanjur dipublikasi “mewah dan fantastis”, bahkan Presiden Jokowi dalam berbagai lawatan ke sejumlah mitra dagang dan mitra investor Indonesia di luar negeri, banyak membanggakan postur belanja APBN Indonesia yang menembus angka equivalen (+-) 2000 Triliun. Secara sederhana, maksud Presiden bertujuan baik yaitu agar investor di negara-negara asing dapat membaca potensi program-program pemerintah di dalam negeri agar tertarik menanamkan investasinya di sektor infrastruktur yang sedang direncanakan oleh Pemerintah Indonesia.
Jika kondisi belanja APBN dibiarkan mengambang pada angka yang jauh dari kemampuan fundamental keuangan APBN negara seperti yang disusun di era Bambang Brojonegoro, maka potensi defisit APBN menjelang akhir semester kedua di Tahun 2016 dapat mencapai 486,9 Triliun atau setara dengan 3,86% dari PDB nasional, yang berarti defiasi terhadap target defisit yang direncanakan sebesar 2,35% dapat mencapai 1,51% (atau mencapai Rp 190,36 Triliun) atau dengan perubahan target defisit sebesar 2,5% defiasinya dapat mencapai 1,36% (atau mencapai Rp 171,45 Triliun).