Tidak terasa program guru penggerak sudah memasuki refleksi keduapuluh dua. Modul dipelajari sampai pada bagian 3.2. Ini berarti tersisa satu modul lagi yang akan dipahami dan didalami. Sekilas terasa tidak ada beban lagi, tetapi justru tanggung jawab sebagai seorang calon guru penggerak mulai terlintas dan terasa akan berat. Saya mengawali mengikuti program guru penggerak dengan antusias dan pada bagian ini tetap merasa antusias mempelajari modul. Modul yang didapat sungguh terasa "menyegarkan" dan memenuhi kebutuhan sebagai guru dengan cita-cita setinggi gunung Klabat di Minahasa Utara. Pada puncak gunung Klabat tersaji pemandangan indahnya "nyiur melambai" yang terkenal dengan motto "Torang Samua Basudara". Beginilah suasana perasaan yang dapat saya gambarkan.
Slogan "Torang Samua Basudara" ini nyata dalam cara hidup tradisional yang berlaku turun temurun sampai sekarang melalui budaya Mapalus. Budaya kekeluargaan, kekerabatan, saling membantu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Minahasa yang sejak awal dikenal sebagai daerah toleransi yang tinggi. Saling menghargai antar pemeluk agama dan kepercayaan berbeda adalah kunci membangun daerah menuju persaingan global. "Si Tou Timou Tumou Tou" (manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain) sangat relevan dipratekkan dalam dunia dengan perkembangan teknologi informasi semakin luas. Inilah kekuatan sekolah kami dapat memelihara dan mengambangkan aset.
Membangun manusia (Si Tou) tentu dibutuhkan aset pengembangan. Apalagi konsep membangun yang disampaikan oleh G.S.S.J. Ratulangi berkaitan dengan konsep pendidikan legal yaitu di bangku sekolah. Manusia perlu dibangun, bukan saja fisiknya tetapi terlebih budaya, akal budi dan pikiran dan ketangkasannya. Dalam bahasa Ki Hajar Dewantara menyebut sebagai tiga unsur penting yang harus dikembangkan dalam pendidikan yaitu unsur cipta, karsa dan karya.
Memanusiakan manusia lain (Timou Tumou Tou) tentu tidak lepas dari konsep tujuh aset yang disebutkan dalam Merdeka Belajar. Karena yang dibangun adalah unsur manusia yang notabene adalah manusia yang memiliki unsur kognitif, afeksif dan psikomotor, maka perlu ditunjang dengan modal guru sebagai pemimpin pembelajaran. Aspek yang sangat kentara dalam pembangunan manusia yaitu sosial dan budaya. Nilai-nilai dasar pendidikan tidak akan berkembang apabila modal sosial dan budaya hilang. Jika hilang akan mengurangi makna dan tujuan mulia dari pendidikan.
Manusia adalah makhluk sosial dan kehidupan sosial manusia dimulai dan lahir dalam budaya masing-masing. Keberadaan pendidikan pun akan lahir dari hidup sosial dan budaya daerah. Lingkungan sekolah membantu pengaruh akan pengakuan masyarakat maka lingkungan sekolah perlu dibentuk untuk menyadarkan murid akan asal usul perkembangan diri. Pada akhirnya nilai sosial dan budaya menjadi lebih reflektif jika selalu dihubungkan dengan agama sebagai dasar moralitas.
Pada minggu ini, tujuh aset dipelajari dan seakan-akan mulai terintegrasi di dalam diri saya sebagai seorang calon guru penggerak. Memulai pengembangan dengan guru sebagai pemimpin pembelajaran seharusnya saya bersyukur karena ternyata sekolah memiliki banyak aset yang dapat dimanfaatkan. Ketika berhadapan dengan rekan guru yang mengeluh sehubungan dengan kurang tersedianya sarana prasarana, saya mengajak mereka untuk berpikir positif atau berpikir berbasis aset. Ketika pelaksanaan kegiatan sekolah yang melibatkan semua unsur internal dan eksternal, saya mengusulkan untuk memanfaatkan aset atau potensi sekolah untuk digunakan. Dengan berpikir berbasis aset segala kekurangan dapat diatasi karena tujuannya untuk pengembangan sekolah dan memenuhi kebutuhan murid.
Impian saya pun langsung tertuju pada bagaiamana mengembangkan sekolah berbasis aset. Biarpun sekolah tersebut terletak di pelosok terluar, atau di kampung/desa sekalipun, tetapi guru mampu berpikir berbasis aset, pasti akan mampu memaksimalkan murid-muridnya dalam belajar dan memperoleh ilmu pengetahuan.
Refleksi saya menghantar pada peahaman bahwa semua aset dikelola dengan baik, dipikirkan, dilaksanakan dan bukan dimanfaatkan untuk kepentingan orang per orang lebih khusus pada aspek finansial dan pengadaan sarana prasarana sekolah. Kembali ke konteks "Si Tou Timou Tumou Tou" perilaku tersebut tidak dapat dibenarkan. Justru keberadaan finansial dibutuhkan untuk pengembangan unsur manusia menjadi semakin manusiawi dan bukannya tidak berperikemanusiaan. Mengambil bagian yang bukan haknya bertentangan dengan Nilai filosofis Ki Hajar Dewantara. Besar harapan kita semua untuk memanfaatkan aset yang dimiliki oleh sekolah benar-benar "jatuh" pada kepala sekolah yang bertanggung jawab dan memiliki nilai-nilai sebagai Guru Penggerak. Semoga.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H