Jakarta dan kemacetan merupakan dua kata yang berbeda tapi saling berkaitan. Kemacetan di kota ini dapat dikatakan lumayan kronis. Pasalnya kemacetan di Jakarta tak hanya terjadi di kawasan perkantoran tetapi juga di kawasan pemukiman. Selain terjadi di berbagai tempat di Jakarta, kemacetan di kota ini juga terjadi hampir sepanjang hari, tak kenal malam ataupun siang.
Berbagai hal mulai dari kurangnya panjang jalan untuk memenuhi kebutuhan berkendara, hingga minimnya transportasi umum dituding sebagai penyebab kemacetan di Ibu Kota.
Jika kita bicara soal penanganan, tak tanggung-tanggung dari penertipan kebijakan plat nomor ganjil-genap, pembangunan MRT. Hingga penerapan subsidi kendaraan umum disebut-sebut sebagai jalan ampuh untuk menangani kemacetan.
Sebagai salah satu masalah klasik Jakarta, kemacetan menjadi sasaran empuk bagi Cagub-Cawagub. Mereka yang saat ini sedang bertarung di Pilkada DKI Jakarta 2017 saling mengadu solusi. Saling klaim bahwa solusinya adalah yang terbaik untuk menangani kemacetan di Jakarta menjadi hal yang umum saat ini. Semuanya mereka lakukan demi mendulang simpati warga Jakarta, dan berharap fotonya akan “dicoblos” pada Februari nanti. Agar dapat melenggang ke Balai Kota Jakarta.
Salah satu Cawagub yang tak mau ketinggalan dalam sayembara penanganan masalah kemacetan Ibu Kota adalah Sandiaga Uno, pasangan nomor urut tiga. Dirinya mengatakan bahwa kemacetan di Jakarta akan lekas terurai jika mobil-mobil mewah, dengan harga diatas 3 Milyar jumlahnya dibatasi. Usulan ini langsung mendapat respon dari dua pesaingnya. Agus Yudhoyono paslon nomor urut satu, mengatakan bahwa pembatasan mobil mewah di Jakarta sulit untuk diterapkan.
Sementara itu pasangan petahana Ahok-Djarot kompak menyatakan bahwa ide tersebut kurang pas. Pernyataan mereka didukung oleh data, yang mengungkapkan bahwa jumlah mobil mewah dengan harga diatas 3 Milyar tidak terlalu signifikan. Justru mobil Low Cost Greeb Car (LCGC) adalah jenis mobil yang banyak melantai di jalanan Ibu Kota.
Pernyataan ini tentunya benar, seperti yang kita dapat lihat sehari-hari jumlah mobil dengan jenis tersebut selalu memenuhi jalanan Ibu Kota. Belum lagi asumsinya, satu keluarga di Jakarta akan memiliki mobil LCGC lebih dari satu unit. Belum lagi apakah semua kalangan atas yang memiliki mobil dengan harga 3 Milyar mau menggunakan kendaraan umum? Bukankah mereka sudah terbiasa menggunakan kendaraan pribadi karena tingkat mobilitas mereka yang cukup tinggi?.
Menurut Ahok, selama ini pemerintahannya mendapatkan dana tambahan subsidi kendaraan umum seperti TransJakarta justru dari pajak mobil-mobil mewah di Jakarta. Jadi tak ada yang salah dengan penggunaan mobil dengan harga 3 Milyar. Senada dengan Ahok, Djarot, juga mengatakan tak masalah jika mobil 3 milyar berkeliaran di Jalanan Jakarta asal mereka membayar pajak.
Dari pajak tersebut pemerintah akan membangun infrastruktur di Jakarta. Djarot juga menambahkan dirinya akan meneruskan program Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT), Bus Rapid Transit (BRT), dan Elektronik Road Pricing (ERP) untuk mobil mewah.
Apa yang dikatakan Ahok-Djarot cukup masuk akal, terlebih saat ini penyerapan dana dari sektor pajak mobil mewah sudah mencapai angka 33 persen. Pihaknya akan berupaya untuk mengoptimalkan penyerapan dana tersebut untuk mensubsidi kendaraan umum. Dengan demikian keberadaan mobil-mobil mewah di Jakarta akan memberikan dampak terhadap perbaikan transportasi umum, untuk kalangan menengah kebawah.
Dengan fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan, bahwa kebijakan moratorium tidak memberikan dampak yang besar besar untuk mengurangi kemacetan. Karena jumlah mobil yang paling banyak di Jakarta adalah LCGC, bukan mobil mewah. Selain itu pajak dari mobil mewah dapat diserap untuk subsidi kendaraan umum, sehingga memberi dampak langsung bagi masyarakat.