Mohon tunggu...
Willem Hans Wakim
Willem Hans Wakim Mohon Tunggu... -

nguli

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tuhan Tidak Ada Kala Orang Baik Menderita?

17 Februari 2011   06:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:31 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Suka dan duka, susah dan senang, sedih dan gembira adalah bagian yang hakiki dari hidup manusia di dunia ini. Tak seorang pun yang tidak pernah tidak mengalami dinamika kehidupan ini. Ada saat-saat ketika seseorang bergembira dan bersuka karena momen-momen keberhasilan atau pencapaian yang dialami dalam hidupnya. Ada saat-saat ketika seseorang bersedih dan berduka lantaran mengalami keterpurukan atau kehilangan dalam hidupnya. Ia mengalami kegagalan untuk hal yang ia ingin gapai, atau kehilangan orang-orang yang dicintai atau sesuatu yang begitu berarti buatnya.

Situasi suka duka ini telah menjadi keniscayaan dalam hidup manusia. Ia telah menjadi bagian inheren dalam hidup ini. Tak ada seorang pun yang bisa melarikan diri dari kenyataan ini. Tentu, kegembiraan, keceriaan, atau kebahagiaan yang menjadi dambaan setiap insan, dan kita bukan melarikan diri dari momen seperti ini, sebaliknya berusaha untuk selalu ada dalam momen-momen kebahagiaan. Ini bertentangan dengan momen kedukaan atau kesedihan yang selalu berusaha dihindari oleh setiap pribadi. Kenyataannya, lagi-lagi, realitas kehidupan berbicara lain. Suka duka selalu mendatangi kita, entahkah kita menginginkannya atau tidak.

Ketika manusia sedang bersuka atau bergembira, yang keluar dari mulut mereka adalah ungkapan syukur kepada Sang Khalik, walaupun banyak juga yang melupakan Dia dan lupa diri. Sebaliknya, ketika seseorang mengalami keterpurukan, kedukaan, ia menyalahkan Sang Kuasa, orang lain, atau dirinya sendiri.

Tatkala kedukaan menghujam ke dalam hidup manusia, dunia manusia seakan-akan diliputi oleh kabut kepahitan yang begitu tebal sehingga terkadang mata manusia tidak mampu lagi melihat harapan dan sesuatu yang baik di balik kepahitan itu. Hidup manusia diinterupsi oleh sesuatu yang menghentak dan menyesak. Manusia tergeming, bungkam dalam keterpurukan.

Di kala duka dan kepahitan melanda hidup, orang menyalahkan Tuhan. Apalagi, ketika kedukaan itu dialami oleh orang-orang yang baik, orang-orang yang tidak berdosa, orang-orang yang menurut kita tidak sepantasnya ia atau mereka mengalami hal yang demikian. Ingin rasanya manusia berteriak kepada, atau bahkan menghakimi Sang Khalik, ketika kepahitan melanda orang-orang baik di dunia ini.

Manusia berpikir dan merasa diperlakukan tidak adil oleh Sang Pemberi Hidup. Manusia berpikir dan merasa bahwa Tuhan itu tuli dan buta ketika orang-orang baik dan orang-orang yang tidak berdosa (atau yang belum berbuat dosa, misalnya para bayi yang mengalami kemalangan) di dunia ini mengalami kepahitan dan kemalangan. Manusia bertanya-tanya kepada Tuhan meminta jawaban dan keadilan. Dan kebanyakan orang tidak bisa melihat dan tidak mau menunggu jawaban dan keadilan Tuhan sehingga dalam keputusasaan mereka menyalahkan Dia dan menyangkali Dia. Mereka menganggap bahwa Tuhan telah pergi meninggalkan mereka. Tuhan tidak ada. Alhasil, ekstremnya, manusia menjadi seorang penghujat Tuhan.

Namun, apakah benar Tuhan tidak ada ketika orang-orang baik di dunia ini mengalami kedukaan? Apakah Ia memang tidak peduli dengan hidup orang-orang baik tersebut?

Sesungguhnya, menurut saya, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan semacam ini jangan dicari kepada Sang Khalik. Tuhan tidak menyediakan jawaban itu untuk Anda dan saya. Tuhan tidak menyediakan jawaban itu bagi kita. Jawaban itu ada di dalam hidup kita. Ada di sekitar kita. Jawaban itu ada pada manusia sendiri. Kita akan menemukan jawaban itu kalau kita mau tetap cermat terhadap hidup ini sekalipun berada dalam kepahitan. Mata kita tidak dibutakan oleh kedukaan tersebut, tetapi sebaliknya, kita mau membuka mata dan hati untuk melihat yang positif di balik itu semua. Dan kita harus bersedia menunggu selama beberapa masa untuk bisa melihat hal yang baik di balik yang tidak baik itu. Bukankah hal yang baik tidak terjadi dalam seketika tetapi butuh proses?

Bahwa kemalangan yang menimpa orang-orang baik tidak mengindikasikan Tuhan itu tidak ada, tidak adil, tidak peduli, buta, dan tak berperasaan. Tidaklah demikian. Tuhan tetap ada. Dan Dia memang ada. Hanya saja, Dia membiarkan kita untuk menyelenggarakan kehidupan kita sendiri. Ia membiarkan kita untuk sadar dan tahu bertanggung jawab terhadap kehidupan ini. Ia tidak mau menjadi penentu mutlak dalam kehidupan manusia ciptaan-Nya, sekalipun sesungguh hal itu ada dalam jangkauan kekuasaan-Nya. Seandainya Ia berbuat yang demikian, manusia menjadi kerdil diri, manja, dan tidak bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri. Manusia juga hanya akan menjadi seperti boneka bila Tuhan terlalu bermain peran dalam hidup manusia.

Kemalangan yang dialami oleh orang-orang baik di dunia ini juga jangan dicari kepada Tuhan, tetapi carilah pada komunitas di mana manusia berada. Orang baik seperti Munir, pejuang HAM itu, misalnya, mengalami kemalangan bukan karena Tuhan tidak adil dan tidak ada serta tidak mau memberi jawab terhadap kemalangan yang dialaminya. Sebaliknya, komunitas (kelompok penghilang)-nyalahyang kepada merekalah harus dimintai jawab dan pertanggung jawaban.

Begitu banyak orang baik di dunia ini yang mengalami kemalangan karena komunitas mereka: komunitas kerja, pergaulan, pendidikan, keluarga, dan lain sebagainya. Orang yang terlalu jujur, misalnya di dunia kerja, lebih mengalami kebuntungan ketimbang keberuntungan (lihat saja yang terjadi di negeri kita ini). Seorang anak yang baik dan punya prestasi di sekolah lebih memilih bunuh diri lantaran malu ditagih uang sekolah terus-menerus oleh pihak sekolahnya. Seorang anak yang baik dan cerdas akhirnya meregang nyawa sebab ”dikarantinakan” oleh orang tuanya dengan alasan (dari perspektif orang dewasa) yang menindas dan mencabut hak-hak anak tersebut. Seorang alim, saleh, dan baik akhirnya memilih menjadi teroris karena indoktrinasi kelompoknya, kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil oleh para penguasa sistem-sistem yang bekerja di dunia ini. Lalu, gempa yang menelan korban anak-anak kecil yang tak berdosa lantaran keserakahan manusia (orang dewasa) yang menguras alam ini dengan tak bertanggung jawab, hal yang mana mempengaruhi iklim dan situasi secara global sehingga menyebabkan petaka tersebut.

Jawaban yang lain ada pada sistem kepercayaan kita. Kala kita mengalami kemalangan, periksalah sistem kepercayaan, keyakinan, dan cara pandang kita terhadap Tuhan yang selama ini kita anut. Maksudnya, begitu banyak kita yang melihat dan meyakini Tuhan sebagai sosok yang mestinya menyediakan segala sesuatu (yang baik) buat kita. Tuhan adalah Tuhan mukjizat. Ia akan menghadirkan jalan keluar ketika kita berada dalam kesesakan.

Kita meyakini Tuhan sebagai sosok yang mestinya memberikan sesuatu saat kita memintanya, apalagi saat-saat kita membutuhkannya. Ia kita jadikan mesin produksi kita. Tak heran, ketika Mesin Produksi ini tidak lagi bekerja sesuai keinginan kita, kita menjadi kecewa dan menganggap-Nya sebagai rongsokan sehingga kita meninggalkan-Nya. Kita mengabaikan keberadaan Mesin itu dan menganggap Mesin tersebut tidak bisa diandalkan.

Akhirnya, ada hal-hal di dunia ini yang memang di luar jangkauan kemanusiaan kita, yang untuk hal ini mestinya kita harus sadar dan mau sudi menerimanya. Dan sesungguhnya bahkan Tuhan pun tidak bisa harus melulu ikut secara langsung untuk menginterupsi hal-hal ini. Misalnya, kematian. Semua orang toh akan mati. Dan itu sudah hukumnya. Tidak seorang pun yang bisa mengelak darinya. Dan tidak mungkin pula Tuhan harus menerobos masuk (untuk saat ini) demi membuat manusia, khususnya orang-orang baik, tidak mati. Kematian adalah hukum alam yang sudah ada demikian, sama halnya dengan kelahiran kehidupan baru di dunia ini. Yang mestinya menjadi perhatian kita adalah cara mati dari orang-orang baik tersebut, bukan pada kematian itu sendiri.

Dengan melihat hidup ini secara lebih bijak dalam bingkai yang demikian di atas, kita lebih bisa menerima apa yang terjadi dalam hidup, menjalani hidup dengan penuh pertanggung jawaban, dan tidak menyalahkan siapa-siapa untuk kemalangan yang kita alami. Yang menentukan hidup manusia adalah manusia itu sendiri.

Tuhan tetap ada. Bahkan ketika manusia menyangkali Dia lantaran alasan penderitaan atau alasan-alasan lainnya. Ia tetap ada untuk melihat bagaimana anak-anak-Nya menata anugerah kehidupan yang telah diberikan-Nya. Kita telah menerima anugerah kehidupan itu, tinggal saja bagaimana kita mengelola dan menata kehidupan itu dalam jalan-jalan yang dikehendaki oleh Tuhan, Sang Empunya Hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun