Seperti perbedaan mata uang dollar di setiap negara, demikian juga kesan nilai rupiah yang beredar di Indonesia. Nilai uang yang beredar di kalangan masyarakat, tiap daerah bisa berbeda.
Pagi-pagi buta sekitar pukul 05.00 pagi, saya terbangun dari tidur. Bergegas meninggalkan kamar Hotel Raden Saleh Cikini Jakarta, sebab harus melakukan perjalanan ke Bandung. Jaraknya cukup jauh. Menurut jasa agen travel, perjalanan itu bisa memakan waktu sekitar 2 jam lebih bila di atas jam kerja. Lebih parah lagi, lalu lintas bisa macet jika berangkat pada siang hari. Maka usai saya menyerahkan kunci kamar hotel, pemandangan mata hanya dihiasi oleh hiruk-pikuk beragam model dan tipe kendaraan. Mulai dari kendaraan murahan sampai berharga miliaran rupaih berlalu lalang di Jalan Raden Saleh Cikini Jakarta.
Ada Bajai dan becak yang disulap oleh tukang las, juga kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat. Para pedagang kakilima juga terlihat. Beberapa terpal terlihat seperti tenda para pendulang emas yang sering kujumpai di tengah hutan belantara Papua.
Siapapun yang prtnsh pertama kali ke Jakarta, pasti heran dan menggenang kisah kehidupan di Ibukota negara itu. Terutama kisah tentang aktivitas dibawah terpal dan tenda yang terpasang. Para pedagang berterpal di pinggir jalan raya Jakarta mendulang rupiah, berharap rejeki 500rupiah. Sementara aktivitas dibawah terpal atau tenda di rimbah Papua mendulang rupiah bernilai ratusan ribu atau jutaan rupiah.
Cerita demikian mengingatkan memori lama sebelum tiba di Jasa Travel Cipaganti Cikini Jakarta. Sebab tujuan perjalanan saya adalah menghadiri pelatihan writing skill yang diselenggarakan oleh jasa Training Intermedia di Bandung, bukan mengamati aktivitas di bawah terpal atau tenda.
Cerita lama itu tak mungkin saya telusuri lebih jauh, apalagi ragaku sedang kesal, capek dan sebagainya selama perjalanan dari Papua menuju Jakarta, Senin (19/5) kemarin. Wajar saja bagi siapapun yang melakukan perjalanan cukup jauh. Biasanya salah satu solusi alternatif pelepas jenuh adalah setidaknya mampir di warung, kios, toko atau kegaiatn rekreasi lainnya.
Pagi itu memang tampak sepi. Halaman hotel Ibis, toko, dan jasa travel Cipaganti tampak sepi. Hanya beberapa pejalan kaki berlalu lalang. Mereka sedang berjalan pagi. Selain pejalan kaki, juga beberapa penjual dagang sarapan atau warung pagi tak terhindar dari pertanyaanku.
“Maaf Pak, mau numpang tanya: Jasa Travel Cipaganti itu di sebelah mana ya?” Jawaban pun berragam. Termasuk Security di depan hotel Ibis itu memberi keterangan secara jelas. Patokannya, ia menunjuk lokasi alamat jasa travel Cipaganti.
“Ooo..di sana!” saya mengiyakan.
Sebuah pohon dan tokoh alfamaret jadi acuan.
Namun sebelum sampai di tempat itu, persis di samping Hotel Ibis terdapat sebuah warung dagang asongan. Di Warung itu seorang ibu tua tampak merapikan barang dagangnya. Roti, rokok, air minum berjejer di raknya. Ia sedang memecahkan balok es batu, rupanya usai dihantar oleh penjual es balok.
“Ibu, mau beli…!” sapaku.
Sebelumnya saya yakin, selembar uang 50.000 berwarna biru saya sudah kantongi di saku baju.
“Apa mas?” Mungkin maksudnya, mau belanja apa?
“Mau beli rokok dan air,” membalasku.
Ia sempat tanya: “Rokok apa?”
“Sampoerna merah satu bungkus dan aqua sedang 1 botol,” jelasku.
Rupanya pesan itu ditangkap lalu diisikan ke dalam kantong plastik yang disiapkan, seperti pedagang di Papua juga demikian.
“Tambah roti harga 5.000 ya..?” pintahku sambil menyerahkan uang 50.000rupiah.
Ibu itu menerima uang dan tak berbicara lagi. Saya hanya kaget ketika plastik hitam berisikan bekal perjalanan saya itu diserahkan kembali bersama sisa uang belanja. Dari total uang 50.000rupiah itu, total belanja saya hanya habis sekitar sekitar 18.000rupiah lebih 500perak, tidak sampai 20.000rupiah.
Uang sisa recek 500perak itu mengingatkan kisah pemilik tenda di hutan Belantara di Papua. Dengan memasang tenda demikian di Hutan Papua, bisa meraup keuntungan mencapai ratusan bahkan jutaan rupiah selama beberapa hari. Tapi ibu di Jakarta ini, hanya recekan ratusan rupiah yang ditumpuk dalam kantongnya.
Bila dibanding-banding nilai rupiah yang beredar di kalangan masyarakat ekonomi kelas bawah, nilai uang yang berlaku di Jakarta berbeda dengan nilai uang yang beredar di Papua. Sebab bila kita belanja barang di Papua, tak ada recean koin 500 perak dan tak ada barang seharga itu. Harga barang atau jasa apapun di Papua, paling minim berkelipatan Rp.5000,-.
Di Papua, sering menjumpai uang recehan paling minim Rp 1.000,- itupun hanya dihitung sebagai nilai uang. Jarang menjumpai harga barang kebutuhan orang dewasa seharga 1000rupiah. Maka wajar, ketika saya mendapat uang recek 500perak, koin itu tak ada gunanya, bahkan saya tidak ingat lagi uang recek koin 500rupiah itu saya isi di kantong saku sebelah mana? Saya hanya ingat, uang sisa belanja pecahan 20.000rupiah satu lembar dan 5.000rupiah dua lembar itu saya masukkan ke dalam saku baju kemeja kotak kotak yang saya kenakan. (willem bobi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H