Realisasi program lembaga pemerintah ataupun swasta tak selalu bermanfaat bila berlaku seperti Santaclaus yang kerjanya membagi-bagi uang dan barang ke masyarakat. Sebaliknya program itu bermanfaat bagi masyarakat jika kemitraan para pemangku kepentingan dan masyarakat terlain erat, kuat.
[caption id="attachment_354451" align="aligncenter" width="448" caption="Bantuan dan pendampingan Peterankan Sapi di Akimuga, Febaruari 2013 lalu. Sejak perencanaan hingga realisasai melibatkan para pemangku kepentingan, seperti PT Freeport Indonesia, pemerintah daerah, serta lembaga mitra LPMAK, diantarany Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (LEMASA), Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (LEMASKO) serta Gereja Katolik dan Gereja Dominasi Kristen di Tanah Papua selain kelompok dan elemen masyarakat tingkat bawah. (Willy)"][/caption]
Kesan demikian dapat saja diperdebatkan. Namun bila dibanding-bandingkan dengan kisah dan kenangan masa silam, program kemitraan lebih memajukan masyarakat, ketimbang Santaclaus yang terkesan memanjakan masyarakat. Konsep demikian kini bukan wacana, namun fakta. Dulu boleh saja memintah bantuan dalam bentuk uang tunai, lalu Sinterclaus berjalan membagi-bagikan uang atau barang sesuai permintahan masyarakat. Sekarang tidak demikian, sebab realisasi sebuah program mesti ditinjau dan dievaluasi sebelumnya.
Maksud tersebut ditegaskan selalu dalam program kemitraan yang berjalan di Freeport Indonesia, sebuah perusahaan raksasa yang beroperasi sejak 40-an tahun silam di Papua. Awal-awal tahun operasi perusahaan asing tersebut, hampir kewalahan. Namun berbeda sejak tahun 1996, ketika sebuah lembaga nirlaba dibentuk untuk menyalurkan rasa tanggungjawab perusahaan terhadap masyarakat lokal. Ada 7 suku masyarakat lokal sekitar tambang itu, Suku Kamoro, Amungme, Dani, Damal, Nduga, Moni dan suku Mee. Mereka menikmati dana tanggungjawab perusahaan (Community Social Responsibility, CSR) melalui lembaga yang kini disebut LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro), juga melalui program pendampingan secara langsung dari departemen sosial di PT Freeport Indonesia.
Struktur organisasi sekomplit pemerintah daerah, programnya meluas di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan, serta program pendukung, adat dan agama, serta program khusus yang menanggani penanggulangan akibat kecelakaan atau bencana sosial. Program itu dikerjakan melalui tiap biro. Selain kesehatan dan pendidikan, ekonomi memiliki 7 biro sesuai jumlah suku sekitar areal tambang.
Selama 18 tahun, konsep kemitraan masyaraakt dan pemangku kepentingan tak semulus jalan tol. Kendala dan berragam persoalan menjadi tantang, menjadikan lembaga ini kian dewasa. Contoh kasus, masyarakat berharap uang cash atau tunai, tidak berupa barang. Karakter dan rasa sosial masih tinggi, lebih terjadi dalam kelompok usaha tertentu sehingga sulit bermandiri. Segudang kisah itu terkikis, walau masih dijumpai hingga kini.
Demikian juga dengan pola pengembangan dari perusahaan atau melalui lembaga swasta ini, mesti diukur dengan indikator yang jelas sehingga tak menimbulkan kesan pemborosan progam tanpa efek, dan lain sebagainya. “LPMAK ini bukan Santaclaus, turun lapangan dan langsung bagi-bagi uang atau barang kepada masyarakat,” ungkap Sekretaris Eksekutif LPMAK, Emanuel Kemong dalam kesempatan syukuran ibadah ulang tahun lembaga tersebut, 16 April 2014 lalu.
Ungkapan itu menajamkan pemberdayaan masyarakat, tidak dipandang sebelah mata. Selain anggaran atau biaya program yang lancar tanpa kendala, mesti disertai dengan pematangan program yang tepat sesuai karakteritik masyarakat serta kemajuan dan perkembangan masyarakat modern di jaman sekarang. Kemitraan berarti, masyaraakt yang dulunya nomaden, kini mulai menetap untuk mengembangkan usaha hingga menghidupi keluarganya sesuai tingkat pendapatan akibat program kemitraan PT Freeport.
Demikian juga aspek pembinaan masyarakat, ke depan terbiasa melakukan pelaporan dan pembukuan usahanya. Kemitraan itu membedakan bola mata Santaclaus yang memandang si miskin hidup diatas belaian dan kasihsayang, atau uluran tangan sesame manusia. Dalam kemitraan, terjadi pendampingan seutuhnya, usai menerima bantuan progam dan pemodalan usaha. Pendampingan rutin para tenaga fieldsupervisor terlatih dan berpengalaman seperti terjadi pada kelompok usaha binaan LPMAK selama 10 tahun belakangan ini. Demikian juga pola kemitraan pada program pendidikan dan kesehatan kepada masyaraakt sebagai layanan utama kebutuhan manusia (info lebih lengkap tentang program dapat diakses melalui www.lpmak.org).
Kemitraan berarti memantau kebutuhan lapangan, sasaran serta dievaluasi demi dampak positif lebih luas kepada masyarakat. Dalam kemitraan tak ada permohonan atau bantuan belaka kepada masyarakat, kelompok ataupun individu tertentu.
Dalam kemitraan, aspek perencanaan dan tingkat efek terhadap kemajuan masyarakat mendapat prioritas. Eksekusi program ke tingkat masyarakat. Sehingga sejak perencanaan awal melibatkan pihak pemangku kepentingan, seperti PT Freeport Indonesia, pemerintah daerah, serta lembaga mitra LPMAK. Kemitraan juga melibatkan lembaga adat, seperti Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (LEMASA), Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (LEMASKO) serta pihak gereja Katolik dan Gereja Dominasi Kristen di Tanah Papua, juag kelompok dan elemen masyarakat tingkat bawah. (willem bobi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H