Aktifitas mereka bukan hanya kebiasaan belaka, tetapi bahkan sudah menjadi suatu peranan hidup yang harus dilakukan dan di pegang teguh oleh mereka. Tuntutan hidup yang harus dan ditaati ini adalah hasil dari warisan dari para leluhur yaitu berupa tradisi atau adat-istiadat. Terhitung sejak leluhur pertama mereka tinggal di kawasan hutan Gunung Tilu. Setiap tahun, tanpa diundang, ratusan orang keturunan masyarakat adat Cikondang ikut terlibat dalam upacara tersebut.Â
Upacara dimulai dengan penyembelihan ayam untuk dimasukkan dalam tumpeng padi ladang dan padi sawah.penggunaan makanan berbahan dasar beras ini menegaskan tentang keterikatan masyarakat Kampung Cikondang dengan alam sekitar. Mayoritas penduduk Kampung Cikondang bermata pencaharian petani. Bahan lain yang digunakan sebagai pelengkap juga berasal dari beras.Â
Di samping tumpeng, terdapat 12 jenis makanan ringan pengiring, seperti peuyeum, dodol, wajit, angleng, upuntir, ampeyang, borondong, lontong, opak merah dan opak putih. Pengiring yang nonberas hanya tebu dan buah pisang. Berdasarkan uraian tersebut, maka bisa disebutkan bahwa tradisi 6 wuku taun merupakan bentuk integrasi agama Islam dengan budaya Sunda yang dilaksanakan setiap menyambut bulan Muharam setiap tahunnya oleh masyarakat adat Cikondang.
Daftar Pustaka
Bisri, Cik Hasan et al. (eds.). 2005. Pergumulan Islam Dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda. Cetakan ke-1. Bandung: Kaki Langit.
Susanti, S., & Koswara, I. (2019). Concept of Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh In The Acculturation In Bandung. In 3rd Annual International Seminar and Conference on Global Issues (ISCoGI 2017) (pp. 13-17). Atlantis Press. Â
Penulis:
Siti Hanifah
Sri Astuti Aminah
Willa Yacinta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H