Naskah opini yang ditulis oleh Cipta Lesmana yang diberi judul “Apa Yang Kau Cari Anggota Dewan?” (Kompas, 02/10/2009) membuat saya tersentak. Betapa tidak!! Pak Cipta menyamaratakan upaya pencarian kawan-kawan kita yang telah melenggang ke kursi dewan dengan pencarian materi; pencarian uang. Mungkin terlalu naïf! Tetapi bisa juga /fain/ (fine). Bahwa ada kawan-kawan kita anggota DPR yang terhormat (???) yang serentak menjadi Orang Kaya Baru (OKB), atau yang serentak berubah rupa dari “alim” ke “maling”. Bukan hal yang baru!
Do ut des!
Tidak bisa dipungkiri bahwa kawan-kawan kita yang telah terpilih menjadi anggota DPR pada saat masa kampanye menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta rupiah sebagai cost agar dipilih oleh rakyat. Sekilas memang wajar-wajar saja. Perlu pengorbanan untuk meraih sesuatu. Pengorbanan kawan-kawan kita yang sekarang terpilih memang besar sebagaimana yang telah disentil menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Angka yang fantastis!! Tetapi di sisi lain, demokrasi yang kita anut memang masih berpola “ada uang abang disayang, ‘ga ada uang abang ditendang”. Masyarakat kita akan masa bodoh jika ada calon dewan yang datang ke masyarakat tanpa membawa apa-apa, semisal rokok, baju, bola, dsb. Di Negara-negara maju semisal, USA, Great Britain,dll, demokrasi yang mereka anut sudah bergerak pada tatanan “ratio”, artinya masyarakatnya sudah memilih menggunakan akal; berkualitas ataukah tidal secara intelektual maupun emosional. Ratio mereka bermain untuk menakar kualitas para calon wakil rakyat.
Marcel Mauss (1872-1950) pernah menyentil tentang “do ut des”, saya memberi supaya engkau memberi. Menurutnya, tidak ada yang namanya pemberian cuma-Cuma. Semua serba imbalan, serba balasan. Ketika kawan-kawan kita membagi-bagi uang dan barang kepada masyarakat maka yang diharapkan dari situ adalah pemberian timbal balik dari masyarakat dalam bentuk: memilih si calon untuk menjadi anggota DPR. Jika sampai dia tidak terpilih maka ada dua kemungkinan yaitu gila dan bahkan meminta kembali uang/barang yang telah diberikan (Pos Kupang, 15/04/2009).
Jika merujuk pada teori “do ut des”-nya Mauss maka yang terjadi jika telah terpilih adalah usaha mengembalikan “kas” yang telah kosong. Penulis akan menyebut untuk ketiga kalinya bahwa kawan-kawan kita yang sekarang terpilih telah menghabiskan berpuluh bahkan beratus juta rupiah agar terpilih menjadi anggota dewan. Di periode awal keanggotaan mereka, mereka bisa melipatgandakan keuntungan atas kerugian yang telah mereka alami sewaktu masa kampanye. Jelas bahwa tahun pertama adalah tahun-tahun “recovered” menemukan serta menumpukan kembali pundi-pundi yang telah hilang. Dan inilah motif paling laris dan paling manis menjadi anggota dewan, bagaimana 1 menjadi 2 dan 2 menjadi 4, 8, dan selanjutnya.
Menggugat kata perwakilan!!
Motif memperkya diri. Itulah esensi utama mengapa orang sekarang ramai mencalonkan diri menjadi anggota legislative. Ada orang yang rela melepas status Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan dalih hendak memperjuangkan nasib rakyat. betapa tidak! Hanya dalam waktu 5 tahun, anggota dewan bisa membeli rumah megah, mobil mewah, dan produk-produk modernitas lainnya. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan PNS yang kerja seumur hidup tidak juga kaya-kaya. Jika semua yang mau menjadi dewan bermotif memperkaya diri, maka kita wajib menggugat kata “perwakilan”. Perwakilan jika merujuk pada maknanya adalah bagaimana mewakili satu konstituen untuk dijembatani harapan dan keinginannya. Tapi, perwailan kita malah berpenampilan lain. Tak ada yang diwakili sebenarnya, karena rakyat cendrung berjuang sendiri untuk mendapatkan hak-haknya. Tingkat kepecayaan rakyat sudah pada titik nadir, suram. Semuanya karena satu hal : rakyat hana dihargai saat musim kampanye. Ketika musim ini tiba,anggota dewan kita ramai-ramai berbicara kemiskinan, bicara kemelaratan, peduli pendidikan, peduli lingkungan. Memang sial jadi rakyat biasa. Hanya dihargai saat pemilu (kompas 20/2/2009). Dewan Perwakilan Rakyat harus di ubah menjadi Dewan Penjual Rakyat, lebih pas dan pantas.
Materi: motif nomor satu !!!
Memang benar analisis Cipta Lesmana bahwa motif ekonomi merupakan motif nomor satu bila maju menjadi anggota dewan. Kamus filsafat (Bagus: 2000) mengutip Santayana mengatakan bahwa materi merupakan kategori pokok yang menunjang esensi manusia. Jadi, jelas bahwa materi merupakan kategori pokok yang menunjang esensi kawan-kawan kita.
Jika analisis ini benar, maka kegigihan kawan-kawan kita unutk menyosialisasi diri saat kampanye hanyalah sebuah trik untuk memperoleh materi.( jadi anggota dewan memang mudah. Hanya dating,duduk dan diam. Bisa juga mankir sama sekali, yang penting tanda tangan lancar dan duitpun ngalir.
Perlu kontrol sosial !!!
Untuk meredam upaya dan aksi unjuk kebolehan berkorupsi dari kawan-kawan kita ini, kita harus menciptakan satu kontrol sosial (social control). E.A Ross (1896-1898) seperti dikutip oleh George Gurvitch, seorang professor sosiologi dari universitas Sorbone dalam bukunya Sosiologi Hukum (Gurvitch: 1996) mengatakan bahwa kontrol sosial itu penting terutama untuk dua hal berikut:
Pertama,sebagai upaya menekan kelakuan yang tidak di inginkan menjadi kelakuan menjadi kelakuan yang di inginkan. Kedua, sebagai upaya menciptakn ketrlibatan social. Jelas bahwa perlu kontrol sosial untuk menekan ‘instictive’ naluri korupsi kawan-kawan kita dan mengidealkanadanya keterlibatan social; jauh dari hingar binger berita korupsi yang melelahkan telinga. Saya yakin jika kontrol sosial ini kita tetapkan maka ada lagi kesan bahwa kita (indonesia) adalahkumpulan individu yang mandul demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H