"(Ia) membungkuk di atas bak cuci porselen, membasahi wajah dengan air dingin, mengusir sisa-sisa mimpi. Ia tidak bisa mengingat mimpinya, hanya kesan yang tertanam di kepalanya--- ramalan yang meninggalkan selubung kabut di benaknya, sensasi kesepian dan kebingungan yang tidak bisa ia jelaskan. Dengan setengah tertidur, ia membuka gaun malam flanelnya yang berat dan merasakan dinginnya kamar mandi yang membuat tubuhnya gemetar. Ia berdiri dan mengenakan pakaian dalam katun putih dan rok dalam katun, lalu menatap dirinya dengan penuh analisis dan penilaian--- lengan dan kaki yang kurus, perut yang rata, rambut coklat mencapai pundak, kalung emas yang menghiasi tulang dadanya. Bayangan yang terpantul di cermin di hadapannya adalah gadis yang mengantuk".
Tulisan ini telah kubuat lama. Bersama manusia pendengar yang tidak dapat kau temui di setiap tempat dalam peta dunia, ruang hampa galaksi maha luas, dan dalam sajak-sajak para musafir Sahara, penanti oase yang sering muncul dalam fatamorgana utopis, tidak nyata, namun mendekam dengan lama. Kisah ini hanyalah dialog dua aku, tentang gadis-gadis peminta "yang senyum mereka terlalu kekal untuk mengenang duka". Â Maka izinkanlah kubuka prosa chaos ini dengan sajak "Rosa Que al Prado" Juana Ines de la Cruz:
Mawar merah yang tumbuh di padang rumput
Kau sombongkan diri dengan berani,
Bermandi warna merah padam dan merah tua:
Suatu peragaan yang elok dan wangi.
Tetapi astaga: karena cantik, tak lama lagi kau akan tidak bahagia
Apakah aku mengenal ()-nya seperti dia mengenal ()-ku? Seperti tutur si Pembunuh Kata, manusia makhluk pemuja dan pencuriga. Apa yang dipuja memujanya sendiri. Apa yang dicurigainya mencurigai si pencuriga sendiri--- mengenalnya menanyai si penanya sendiri.Â
Sahara, gadis bermata coklat, berambut coklat, berkulit coklat mirip ibunya menghabiskan hidupnya pada karya dan prestasi. Gambaran dirinya yang serba coklat, mengkatamkan cinta dalam arti ambigu: manisnya dicintai dan pahitnya mencintai. Atau lebih paradoks, pecinta yang mudah kecewa dengan yang dicintai. Kekecewaan itu dibawanya serta menembusi ruang kosong dengan rasa pesimis. Berlayar bagai Putri Sparta yang dicuri Pangeran Troya, namun tidak ingin kembali kendati dermaga belum dibakar. Yang terbakar hanyalah manusia-manusia, para prajurit, kepala rumah tangga tak bersalah yang menjadi korban cinta dua insan yang tak semestinya--- namun direstui dewa Apolo. Tangisan para istri dan anak-anak yang menjerit di depan jenazah suami atau bapaknya menyiksa si Cantik Sparta, yang dalam sekejap disulap menjadi Putri Troya, amor omnia vincit: cinta mengalahkan segalanya. Â
Sahara, Engkau bukan Helena. Mengenalmu tidak menyiksa. Seumpama sungai yang dibasuh cahaya matahari pagi. Namun kehilanganmu bagai cahaya yang meninggalkan langit saat sang surya tenggelam di balik cakrawala. Bagaimana mungkin aku membandingkan perjalanan waktu yang menjadikanmu pohon merambat yang menggantung pada terali.
Tidak peduli seberapa keras aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku akan baik-baik saja tanpamu. Dan aku tahu setiap menit dalam setiap hari, hilangmu terus menghiasi hati. Kamu berkata, "Berapa harga lima menitmu, akan aku bayar". Kini lebih dari lima jam, lima bulan, lima tahun, dan lima abad, aku banyak memberi garansi. Pertanyaanku hanya satu, bagaimana aku dapat mencintaimu dengan luas, lebar, dalam, dan tinggi? Aku mencintaimu setiap hari dengan cinta yang hampir hilang. Aku mencintaimu dengan nafas, senyuman, air mata, sepanjang hidupku; dan, jika Tuhan memilih, Aku akan mencintaimu lebih baik setelah kematian.