Mohon tunggu...
Wilfridus Bria
Wilfridus Bria Mohon Tunggu... Wiraswasta - Guru di Yayasan Alirena

Guru di Papua, suka membaca dan bermain sepak bola

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mimpi Lutria

10 Juli 2022   20:33 Diperbarui: 10 Juli 2022   20:41 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kehidupan menawarkan begitu banyak ruang dan waktu untuk belajar. Berada di satu kampung kecil di wilayah Papua pun tidak membatasi saya untuk belajar. 

Setelah satu tahun bersama dengan keluarga-keluarga di Kampung Sumano, aku boleh mengakui bahwa setiap waktu adalah proses pembelajaran. Kali ini aku ingin berbagi tentang seorang anak didikku di Paud A, yang tiada hentinya menginspirasi gurunya. 

Namanya Lutria Desiana Tebe. Dia anak kelima dari 5 bersaudara, untuk saat ini dia boleh dibilang yang bungsu, karena saya belum tahu rencana keluarga Bapak Tebe dan Ibu Yuliana, orang tua dari Lutria. Namanya tidak asing karena sangat Indonesia. Yang jika dimaknai secara harafiah berarti "serigala yang lembut"

Lutria, lahir dalam keluarga yang sangat sederhana. Sama seperti keluarga-keluarga lain di kampung, yang umumnya masih jauh dari sejahtera. 

Bertumbuh dalam segala keterbatasan tidak membuat dia menjadi anak yang biasa. Ia anak yang luar biasa, sangat riang jika tidak sakit dan memiliki kemauan yang sangat keras. Usianya baru tiga tahun namun dari pandangan matanya, ia memiliki cita-cita yang tinggi. 

Ada keyakinan yang besar terpancar dari wajah lembutnya. Ketika diminta bersama gurunya memimpin doa, ia selalu memimpin dengan hati yang besar dan penuh ketulusan. Saat berdoa ia akan menutup kedua matanya, melipat kedua tangannya dan meletakkannya di dadanya. Ia akan terus menutup matanya sebelum ia mendengar kata 'amin', tanda doa telah selesai.

Semangat jiwanya tidak hanya tampak ketika berdoa. Dia menjadi anak paling periang saat mengikuti senam pagi. Ia selalu menjadi pusat perhatian orang tua yang hadir, anak-anak sekolah dasar yang datang, dan juga membuat kakak-kakaknya yang TK gemas. 

Ia anak yang ceria dengan kemauan yang keras. Ia belum pandai memegang pencil dan belum pandai membentuk garis vertikal maupun horizontal namun ia selalu ingin memegang pencil dengan benar dan mencoret-coret di kertas dengan bangga. 

Ia anak yang memiliki visi, ini tampak dari matanya yang selalu berseri, seolah melihat jalan lurus modernisasi di depannya. Ketika menonton film-film kartun, ia sangat antuasias dan emosinya tampak dari setiap gerakan tubuhnya ketika para pemeran beraksi. Ekspresi-ekspresi spontannya memiliki banyak makna.

Lutria hanyalah anak kampung, yang tinggal di kampung dengan realitas ribuan kilo jauhnya dari modernisasi. Sama seperti teman-teman sekampungnya, Lutria juga tumbuh dengan berbagai masalah kesehatan, kebersihan diri yang kurang, kebersihan lingkungan yang tidak diperhatikan, nutrizi dan gizi yang sangat kurang sejak dalam kandungan ibunya. 

Makanan selalu merupakan orientasi. Ketika melihat gambar makanan dan minuman, spontan mereka langsung melakukan gerakan melahap. Miris, melihat realitas ini. 

Di tahun 2021, dimana anak-anak di negara-negara maju berpikir untuk menjadi astronaut dan insinyiur, Lutria dan kawan-kwannya masih berpikir bagaimana bisa makan makanan enak sekelas nasi goreng, ayam penyet, es krim, dan lainnya. Ada jarak yang begitu jauh dan terkadang itu tidak elok untuk dibandingkan. 

Aku tidak bisa membandingkan anak Jakarta, mungkin Jakarta terlalu jauh, anak Kota Sorong, salah satu kota yang maju di Propinsi Papua Barat dengan mereka. Adalah pelanggaran jika harus membandingkan mereka.

Kebersamaan satu tahun bersama mereka membuatku bangga pada mereka. Ada satu kesamaan antara Lutria dan teman-temannya dengan anak-anak kota yaitu mereka sama-sama memiliki mimpi. 

Mimpi untuk masa depan yang lebih baik dan bermakna. Jika setiap waktu adalah doa, maka aku akan mendoakan mereka agar dua puluh tahun dari sekarang, Lutria dan teman-temannya akan menjadi anak-anak kebanggaan Kampung Sumano, yang menguasai teknologi dan menjaga tanah leluhur mereka, hutan dan sungai mereka dari gempuran modernisasi yang dibawa oleh perusahaan-perusahaan asing, yang datang hanya bertujuan untuk memuaskan nafsu orang-orang serakah. Yang hanya ingin mengambil dan mengeruk kekayaan ibu pertiwi Papua.

Lutria Desiana, sang "serigala lembut" dari Kampung Sumano memiliki mimpi yang tampak dari cahaya matanya. Ketulusan dan semangatnya yang besar akan mengantarkannya menjadi pembawa perubahan. Lutria Desiana Tebe, putri dari Kampung Sumano.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun