Mohon tunggu...
Iden Wildensyahâ„¢
Iden Wildensyahâ„¢ Mohon Tunggu... Administrasi - Senang jalan-jalan, menulis lingkungan, dan sesekali menulis ide yang muncul tentang pendidikan kreatif. Temui saya juga di http://www.iden.web.id

Senang jalan-jalan, menulis lingkungan, dan sesekali menulis ide yang muncul tentang pendidikan kreatif. Temui saya juga di http://www.iden.web.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

Terima Kasih Nurani

4 Maret 2010   01:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:38 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika menuliskan kata nurani, saya teringat pada satu teman SMU di kaki Gunung Papandayan. Namanya Nurani, perempuan yang tidak cantik tetapi manis jika dipandang mata. Sebagai anak SMU, saya hanya bisa melirik-lirik saja karena dia sudah jadi pacar teman saya dulu. Nurani kali ini bukan seorang perempuan manis itu, tetapi hati nurani yang ada di benak para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada satu yang tidak bisa dikesampingkan dalam proses pengambilan keputusan, ya sebuah nurani. Hati nurani yang sering disebut hati kecil yang tidak pernah bisa bohong jika kita melakukan kesalahan. Lily Wahid dari fraksi PKB lebih memilih hati nuraninya daripada kebijakan partainya. Saya menyaksikan tayangan ini seperti melihat dagelan, sandiwara politik yang tidak lebih baik dari pentas teater di kampus. Dia bilang bahwa keputusan berbeda karena perang bathin yang tidak bisa dilawan. Perang bathin itu saya yakin sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh Lily Wahid saja, tetapi juga oleh anggota DPR lainnya. Ada yang berani mengikuti suara hati nuraninya, ada yang menekan sedemikian rupa agar bisa mengikuti suara koalisi. Yang saya heran tentu saja PAN, saya menggambarkan sebagai partai reformis yang kritis melalui refresentasi Amien Rais. Kenyataannya ketika sudah masuk dalam lingkaran pemerintahan, semua itu abu-abu. Kebenaran itu menjadi relatif, perjuangan reformasi untuk menekan KKN itu ternyata hanya bualan, omong kosong dan pemanis mulut saja. PAN mengikuti Demokrat, seolah khawatir jika berani bersuara beda dengan Demokrat akan ditendang dari koalisi. Akibatnya mereka takut tidak mendapat jatah di pemerintahan. Ah benar-benar dunia yang relatif. Kebenaran itu abu-abu dan tidak bisa diprediksi. Kembali ke nurani, walaupun kebenaran itu menjadi abu-abu di gedung DPR, tetapi nurani itu tidak. Dia tidak bisa dibohongi, saya yakin beberapa anggota DPR dari fraksi manapun merasakan ini. Nurani anggota DPR hakikatnya adalah nurani rakyat biasa, rakyat yang merindukan keadilan, rakyat yang jujur jika salah maka salah, jika benar maka benar. Yang berani menyuarakan nuraninya berarti sudah menjadi wakil rakyat dengan baik. Terima kasih Lily Wahid, terima kasih nurani. [caption id="attachment_85746" align="aligncenter" width="300" caption="Lily Wahid (Foto diunduh dari google.com)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun