[caption id="attachment_87303" align="alignleft" width="300" caption="Jaya Hartono (Foto diunduh dari vivanews.com)"][/caption] Persentase adalah suatu cara untuk menyatakan fraksi dari seratus. Persentase sering ditunjukkan dengan simbol "%". Persentase juga digunakan meskipun bukan unsur ratusan. Bilangan itu kemudian diskalakan agar dapat dibandingkan dengan seratus. Persentase amat berguna karena orang dapat membandingkan hal yang tidak sama angkanya. (wikipedia.com) Pertanyaan awalnya adalah berapa persen faktor pelatih dalam menentukan baik atau buruknya sebuah permainan sepakbola?. Jawaban beberapa rekan saya ditempat kerja ternyata beragam, ada yang memberikan cuma 20%, 30%, dan 60%. Saya sendiri mencoba memilah antara pemain, pelatih dan manajemen. Khusus untuk sepakbola Indonesia (timnas) saya memberikan porsi hanya 30% saja, sisanya berada pada manajemen 20% dan pemain 50% lebih besar dari manajemen dan pelatih. Studi kasus yang paling nyata adalah ketika timnas dilatih oleh Peter White (PW), siapa yang meragukan kemampuan pelatih yang punya kapabilitas teruji di asia melalui Thailand, PW berkarakter, punya kemampuan manajemen yang baik. Tetapi apa mau dikata untuk prestasi timnas indonesia tidak sebagus pelatihnya, jadi sementara terjawabkan berapa persen porsi pelatih disini. Logikanya begini " jika dan hanya jika". Jika pelatih bagus, pemain bagus, maka permainan bagus jika pelatih tidak bagus, pemain bagus, maka permainan baik. Jika pelatih bagus, pemain tidak bagus, maka permainan kurang bagus. Jika pelatih tidak bagus, pemain tidak bagus maka permainan tidak bagus. Apakah keputusan menghentikan pelatih ditengah jalan bisa menjadi sebuah solusi bagi tim yang terus menerus kalah? untuk kompetisi luar negeri, rasanya tidak masalah menghentikan pelatih ditengah kompetisi. Lihat saja Chelsea dahulu ketika terpuruk, Mr Spesial One mengundurkan diri lalu diganti Avram Grant prestasinya menanjak sampai finalis Liga Champion. Hal ini karena faktor mental dan fisik pemain yang sudah berada pada tingkat matang kalaupun tidak ya.. mendekatilah. Mental mereka selalu bisa cepat bangkit dari keterpurukan, tidak emosional dan tidak menyalahkan satu sama lain, yang ada adalah bangkit bersama. Dewasa dalam arti yang sesungguhnya, mereka adalah motivator bagi dirinya sendiri. Untuk Persib Bandung, saya mengambil contoh ketika masa kepelatihan Arcan Iurie. Kesalahan fatal seorang pelatih yang sangat elementer (mengutip komentator sepakbola) adalah merusak kondisi tim yang sudah kondusif. Menurut saya, waktu itu dia salah memprediksi, kuncinya itu saja. Dia takut kehilangan pilar pemain karena harus membela timnas, pikir dia harus ada yang menggantikan dengan kemampuan individu yang sama. Kenyataan prediksi dia salah, kesalahan utamanya adalah merusak kondisi yang sudah kondusif. Untuk Jaya Hartono sendiri, bertanggungjawab betul, tapi kalau sampai menuntut mundur ditengah kompetisi ketika team anjlok, rasanya kurang bijak. Saya melihat banyak hal positif dari kepemimpinan Jaya Hartono dibanding yang lain. Salahsatunya adalah pemilihan pemain, JH memilih pemain yang memiliki talenta, bukan yang sudah jadi. Pemilihan yang saya lihat juga seimbang siapa yang siap, dia yang akan dipasang di starting up line. Penampilan tim pun tidak bombastis tetapi mengikuti proses, menanjak sedikit demi sedikit. Bandingkan dengan Arcan Iurie, diawal memang bombastis tetapi keropos di akhir, contoh paling mutakhir adalah ketika dia melatih Persik Kediri tahun 2008, coba kurang apa Persik Kediri dengan pemain-pemain bintang timnas dan finalis liga indonesia (PSMS) yang hampir 80% ditarik ke Persik Kediri, pun dengan pemain asingnya yang sudah memiliki kemampuan diatas rata-rata. tetapi apakah Persik berada diurutan pertama? ternyata tidak, diluar masalah non teknis, Persik terseok-seok di papan tengah klasemen waktu itu. Jadi berapa persen pelatih, pemain, dan manajemen menentukan baik atau buruknya performa sebuah tim? jawaban itu ternyata relatif untuk sepakbola Indonesia. Sebagai supporter saya hanya bisa mendoakan saja, saya tidak menuntut mundur ketika performa menurun dan tidak akan menyanjung ketika performa naik, saya hanya bersyukur jika tim kesayangan saya menang. Karena tidak mudah jadi bagian dari manajemen begitu pula menjadi pelatih, apalagi menjadi pemain. Untuk satu jam bermain futsal saja cape-nya minta ampun... eh minta istirahat apalagi main di Liga Super, ah mimpi kalee! [caption id="attachment_87307" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama Suwitha Patha ketika masih di Persib Bandung (Dok.Pribadi)"][/caption] Bisa dilihat juga di www.wildensyah.co.cc
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H