[caption id="attachment_122050" align="alignright" width="230" caption="ilustrasi dari openbook5.blogspot.com"][/caption] Menulis merupakan suatu proses penemuan yang membuatku tak sabar untuk segera mulai di pagi hari: "aku ingin tahu apa yang akan kukatakan" (Sharon O'Brien) Ketika membaca tulisan Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran dan kumpulan tulisan dia di buku yang berjudul Jaman Peralihan, saya menemukan hal yang membuat semangat menulis menjadi tinggi. Begitu pula ketika membaca tulisan Muhammad Hatta di catatan hariannya, serta tulisan Tan Malaka di masterpiece-nya yang berjudul Madilog. Saya menemukan sebuah semangat serta bagaimana mereka menulis. Baca dan cermati, anda pun pasti mendapatkan hal yang sama, atau mungkin lebih daripada yang saya baca. Bagi saya, keunikan mereka dalam menulis adalah kesederhanaan dan konsistensi menulis catatan harian. Kesederhanaan dalam bentuk kata-kata yang mengalir begitu saja tidak memberatkan orang yang membacanya. Setiap hal yang menjadi fokus pembahasannya selalu dikupas dengan bahasa sendiri yang lebih sederhana dan tidak jelimet. Contoh saja Tan Malaka ketika menuliskan salah satu pasalnya di Madilog dengan jujur dia mengatakan bahwa ada sebagian kutipan-kutipan yang hilang karena dikejar-kejar polisi Hongkong. Dengan lugas tanpa harus menyembunyikan ada yang kurang di naskahnya, Tan Malaka mengemukakan itu dengan gamblang memakai bahasa sendiri yang sederhana. Begitu juga dengan Muhammad Hatta ketika harus mengirit keuangan ketika bersekolah di Belanda, antara membeli buku dan makan. Semua lengkap di memoirnya. Khusus untuk Soe Hok Gie, saya suka paparan dia ketika menuliskan tentang kondisi mahasiswa UI pada waktu itu ketika terjadi perebutan ideologi, dia menuliskan dengan Judul 'Mahasiswa UI Bopeng Sebelah'. Dia memaparkan sederhana saja, tidak bombastis berebut ruang dengan teori-teori atau kajian ilmiah. Dia menuliskan dengan cara yang biasa saja, bahasa yang mudah dimengerti dan tidak bertele-tele. Begitu juga dengan catatan seorang demonstran, saya membacanya istimewa karena catatan itu yang menginspirasi banyak orang terutama mahasiswa. Saya berpikir bagaimana menulis sesederhana mungkin, sehingga media bisa menerima tulisan saya. Seperti bagaimana Soe Hok Gie, Hatta dan Tan Malaka menulis pada waktu itu. Tulisan mereka yang sederhana tetapi selalu menjadi langganan opini di surat kabar, sungguh hal yang luar biasa. Saya pernah mencoba membuat tulisan dengan bahasa sendiri ke media. Hasilnya nihil, mungkin bahasa saya kurang bernas dan logikanya masih kacau. Tapi saya tetap belajar, biarlah media menolak yang penting saya tetap menulis. Saya menulis karena mereka juga menulis. Mereka menulis sederhana saja, tetapi penuh makna dan menjadi pelajaran bagi siapa saja yang mengkajinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H