[caption id="attachment_149315" align="alignright" width="300" caption="Kawah Tangkubanparahu (www.tripadvisor.com)"][/caption] Belakangan ini berkembang isu tentang kawasan Tangkubanparahu yang hendak dikelola swasta. Terjadi pertentangan karena ada perbedaan kepentingan antara pencinta lingkungan dan pengelola. Dalam Warta Kehati, pengelolaan ekowisata bisa berjalan lancar jika ada kerja sama kantor pariwisata dan badan-badan manajemen sumber daya alam, khususnya yang membidangi hutan dan taman nasional, serta lembaga swadaya masyarakat, khususnya yang bergerak di bidang lingkungan hidup, usaha kecil, dan pengembangan masyarakat tradisional. Kerja sama juga harus terjalin dengan industri pariwisata yang mapan, khususnya operator perjalanan, universitas dan lembaga penelitian, kelompok masyarakat, organisasi internasional, lembaga penyandang dana baik pemerintah maupun nonpemerintah, organisasi budaya, dan lain-lain. Pengelola ekowisata harus mengupayakan akses untuk kesetaraan partisipasi sejak proyek dimulai. Kalau tidak, keberhasilan proyek tersebut akan terhambat di belakang hari. Bisa jadi pertentangan serupa terjadi karena pihak pengelola sudah merasa melakukan, tetapi tidak maksimal. Pengertian ekowisata berakar dari pengertian ecotourism. Menurut Wikipedia, ekowisata adalah salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, pemberdayaan sosial budaya, ekonomi masyarakat lokal, serta pembelajaran dan pendidikan. Ekowisata dapat dipahami sebagai perjalanan yang disengaja ke kawasan-kawasan alamiah untuk memahami budaya dan sejarah lingkungan tersebut sambil menjaga agar keutuhan kawasan tidak berubah dan menghasilkan peluang untuk pendapatan masyarakat sekitarnya. Jadi, mereka merasakan manfaat dari upaya pelestarian sumber daya alam. Dampak negatif Ada banyak definisi ekowisata yang diberikan oleh organisasi, kelompok, ataupun individu yang bergelut di bidang ekowisata. The International Ecotourism Society mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah-daerah alami yang melindungi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Semiloka dan Simposium Ecotourism (April 1995) dalam Sudarto (1999) memberi pengertian ekowisata sebagai kegiatan perjalanan wisata yang bertanggung jawab ke/di daerah-daerah yang masih alami atau daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam. Tujuannya, selain menikmati keindahan, juga melibatkan unsur penduduk, pemahaman, serta daya dukung terhadap usaha-usaha konservasi alam dan peningkatan pendapatan masyarakat sekitar daerah tujuan ekowisata. Di samping memiliki dampak positif bagi konservasi, pendidikan, dan ekonomi, ekowisata juga memiliki dampak negatif. Sumber dampak dari aktivitas wisata, menurut Siti Nuraini dalam prosiding Lokakarya Karakteristik Permasalahan Wisata Alam di TNGP, terbagi menjadi tiga faktor, yaitu pengunjung, fasilitas, dan tata letak. Sumber dampak lingkungan akibat pengunjung yang terlihat langsung memang adalah pengunjung. Pengunjunglah yang terlihat secara langsung membuang sampah atau menimbulkan kerusakan kawasan. Dalam proses pemetaan masalah, dibahas hal-hal yang menyebabkan keberadaan pengunjung yang cenderung menimbulkan kerusakan lingkungan. Pembahasan itu memperlihatkan dua penyebab besar, yaitu karakteristik pengunjung yang tidak kompatibel dengan tujuan-tujuan konservasi dan jumlah pengunjung yang melebihi kapasitas. Kedua penyebab tersebut kemudian diperparah dengan kelemahan proses penegakan peraturan pengunjung. Sementara dampak lingkungan akibat fasilitas sering kali terpusat pada perilaku pengunjung. Padahal, ternyata fasilitas adalah kontributor kerusakan lingkungan. Keberadaan fasilitas sebenarnya memang ditujukan untuk menyerap dampak lingkungan pengunjung. Akan tetapi, kesalahan penempatan, desain, dan pembangunannya justru menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih parah. Semua masalah ini menunjukkan bahwa perancang fasilitas kurang memahami desain yang berwawasan lingkungan dan kajian mengenai dampak lingkungan itu sendiri kurang dilakukan secara serius. Dampak lingkungan akibat tata letak (site plan) merupakan awal dari permasalahan. Banyak sekali permasalahan di lokasi ekowisata, baik yang terkait dengan pengunjung maupun fasilitas, dapat ditelusuri pangkalnya dari permasalahan tata letak. Persoalan yang umum terjadi adalah penempatan fasilitas yang berdekatan dengan daerah peka. Kerusakan alam Keberhasilan ekowisata sangat bergantung pada usaha penyadaran semua pihak terkait, terutama penduduk setempat dan petugas pemerintah daerah yang bersangkutan. Ekowisata tidak hanya perlu memberikan fasilitas kepada wisatawan untuk menikmati pemandangan alam yang indah dari kejauhan. Namun, ekowisata juga harus memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pengunjung untuk tinggal nyaman di tengah lingkungan yang indah itu untuk sementara waktu agar memperoleh kesan mendalam tentang lingkungan setempat. Perencanaan dan pengelolaan yang terintegrasi memungkinkan ekowisata menjadi salah satu alternatif pengelolaan sumber daya hutan dengan meminimalisasi dampak negatifnya. Di dua sisi yang berlawanan, ekowisata yang bertujuan menarik wisatawan sebanyak-banyak untuk mendapatkan pemasukan maksimal hendaknya memerhatikan aspek perlindungan terhadap faktor keseimbangan alam dan ekosistem setempat. Dengan demikian, tidak terjadi ketimpangan antara hasil dan dampak yang terjadi di kawasan ekowisata tersebut. Ekowisata Tangkubanparahu, jika diperhatikan serta dikelola dengan baik, bisa jadi akan menjadi solusi untuk meningkatkan perekonomian daerah. Namun, jika pengelolaannya tidak memerhatikan hal-hal negatif tersebut, jangan berharap ekowisata mendatangkan keuntungan. Bisa jadi malah kerusakan alam yang akan terjadi. Catatan tulisan ini pernah di muat Kompas Jawa Barat, di posting untuk mengingatkan kembali dinamika yang terjadi di Tangkubanparahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H