[caption id="attachment_113013" align="alignleft" width="300" caption="Backbook (di copy tanpa ijin dari facebook winda krisnadefa)"][/caption] Sejatinya demikian saya menyebut novel karya Winda Krisnadefa ini. Buku yang bersampul hitam sesuai namanya Blackbook. Buku hitam ini dilarung oleh Ayang dan Amel dengan pesan diakhir ceritanya. Pesan umum yang menjadi perhatian bagi semua orang. Bahaya narkoba dan pentingnya pendidikan keluarga. Memang seperti isu basi dan tidak penting karena sudah banyak yang mengambil tema-tema demikian. Tetapi Winda si emak gaul, melihat itu sebagai sesuatu yang tetap harus menjadi perhatian. Bahkan sayapun sependapat dengan isu dan tema yang disampaikan melalui Ayang dan Amel. Jangan iseng dengan narkoba, sekali terjerat susah untuk kembali normal. Masalahnya adalah ketagihan. Saat awal mungkin tidak terasa apa-apa, setelah lama kelamaan saat tubuh membentuk sistem dari yang awalnya tidak butuh menjadi sebuah kebutuhan absolut. Jika kebutuhan itu tidak dipenuhi, bisa segala cara dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dan narkoba, membuat tubuh semakin tergantung padanya. Tubuh yang membutuhkan narkoba, bukan lagi narkoba yang membutuhkan tubuh. Buat korban sih kasihan, tapi buat produsen, mereka adalah pasar prospektif. Pasar potensial yang akan membuat pundi-pundi terus bertambah. Si pemakai yakin tidak menyadari dirinya sebagai konsumen yang dipenjara produsen. Tidak ada lagi kebebasan, yang ada justru jeratan. Pesan tak tersirat dalam cerita tersebut sangat menarik, tentang pentingnya, keluarga, persahabatan, dan juga kejujuran. Serta pentingnya menjaga norma-norma ketimuran agar tidak kebablasan dalam bergaul. Jika dilihat sekilas, Blackbook berisi pergaulan bebas anak muda ibukota, dengan narkoba, seks bebas, dan pembangkangan pada orang tua. Sangat kelam memang, persis seperti judul bukunya Blackbook (buku hitam). Tetapi justru dengan melihat sesuatu yang kelam kita bisa melihat secercah cahaya. Bandingkan jika dalam kondisi terang, kadang kita luput dengan sesuatu yang hitam. Bisa jadi gambaran anak muda yang kelam, hitam itu sebenarnya terang benderang oleh pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan tentang penyadaran arti pentingnya menjaga kehormatan diri dan keluarga. Winda Krisnadefa berhasil menggiring saya untuk terus membaca novelnya. Berhasil juga membangun cerita yang utuh dari awal sampai akhir. Tetapi dibalik itu, ada beberapa hal yang mengganjal. Misalnya adik papa-nya Amel, Uwak Udjo. Adik papi kok uwak, harusnya emang, atau paman. Panggilannya jadi Mang Udjo, bukan Uwak Udjo. Begitu juga dalam sebagian percakapan Bahasa Sunda, terlalu 'teugeug' (teugeug berarti kaku). Untungnya saya dari Bandung yang terbiasa bicara Bahasa Sunda jadi sedikit tahu bagaimana Bahasa Sunda yang agak luwes, ringan, dan memang begitu adanya. Cuma mungkin untuk beberapa daerah di Jawa Barat ada sebagian yang bicaranya agak 'teugeug'. Seperti sebagian di perbatasan Jakarta-Bogor, Tangerang-Jakarta, Sebagian Karawang yang berbatasan dengan Bekasi, dll. Diakhir sebenarnya saya jadi kaget ketika membaca profil penulis, Winda Krisnadefa. Dia alumnus salahsatu perguruan tinggi di Kota Bandung, kemudian memori menggiring saya pada salahsatu tokoh di Blackbook. Ahaaaa... Jangan-jangan :) silahkan baca sendiri selanjutnya hehehe. Oh iya, buku Blackbook ini saya dapatkan dari proyek barter buku yang berhasil setelah dilakukan juga dengan Ary Amhir. Catatan buku Ary Amhir tentu saja akan saya kupas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H