Mohon tunggu...
Iden Wildensyahâ„¢
Iden Wildensyahâ„¢ Mohon Tunggu... Administrasi - Senang jalan-jalan, menulis lingkungan, dan sesekali menulis ide yang muncul tentang pendidikan kreatif. Temui saya juga di http://www.iden.web.id

Senang jalan-jalan, menulis lingkungan, dan sesekali menulis ide yang muncul tentang pendidikan kreatif. Temui saya juga di http://www.iden.web.id

Selanjutnya

Tutup

Nature

Awalnya Sebuah Mall

16 Oktober 2010   02:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:24 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_291337" align="alignright" width="300" caption="Pembangunan mall (http://bhuvananusantara.or.id)"][/caption] "Sejak dulu, Jakarta adalah kota yang kalah. Dia dibangun dari sinergi kemunafikan manusia yang menjadi penghuninya. Tidak ada kegagahan dalam sejarahnya. Jakarta bukan kota yang patut untuk dicintai" (Rahasia Meede hal 198) Dari Pusat Perniagaan Menjadi Benteng Mengikuti sejarah Indonesia dan mengkomparasi dengan kehidupan sekarang, sepertinya tidak jauh berbeda. Sayangnya beberapa pengambil kebijakan seakan lupa sejarah atau bisa jadi melupakan sejarah. Padahal founding father kita, Ir. Soekarno pernah berkata "Jangan sekali-kali melupakan sejarah". Salah satu bagian yang saya komparasi adalah pembangunan mall. Pembangunan mall atau pusat perbelanjaan, atau tempat perniagaan yang kian marak di setiap kota sekarang mengingatkan saya pada pola penjajahan Belanda melalui VOC yang diawali oleh pembangunan sebuah pusat perniagaan. Saya katakan saja sebagai pusat perbelanjaan atau sebuah mall untuk kata yang lebih nge-trend di jaman sekarang. Kita lihat ke belajabf, bahwa pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta. Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala. VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten. Berdirinya pusat perniagaan berawal dari seorang negosiator ulung bernama Kapten Jacques L 'Hermite yang diutus oleh Gubernur Jenderal VOC pertama, Pieter Both, Pangeran Jayawikarta (penguasa Batavia setelah Portugis kalah oleh tentara Demak di bawah pimpinan Fatahillah) memberikan ijin pada VOC untuk membangun pangkalan niaga di Jayakarta pada tahun 1611. Pada tanah yang terletak di pinggir timur muara sungai Ciliwung itu, VOC membangun huis, loge, dan factorij. Bangunan itu kemudian disebut Nassau Huis. Perjanjian itu kemudia diperbarui lagi pada masa Gubernur Jenderal Gerard Reynst. Terus dipertahankan hingga masa pemerintahan singkat Gubernur Jenderal Dr. Laurens Reael. Ketika pucuk pimpinan berpindah ke tangan Jan Pieterszoon Coen, keadaan tidak lagi sama. Dia menambahkan bangunan baru, Mauritius Huis. Di antara Nassau Huis dan Mauritius Huis dibangun tembok batu yang dijejali dengan meriam. Kekuatan penjaga ditambah berkali lipat. Tembok-tembok itu kemudian disempurnakan menjadi benteng oleh Piere de Carpentier, yang menjadi penguasa selama JP Coen berlayar ke Maluku. Tembok yang membentuk sebuah kota itu kemudian disebut Kasteel Jacatra. Keadaan ini membuat hubungan VOC dan Pangeran Jayawikarta menjadi tegang. Perimbangan kekuatan bermuara pada ide penguasa tunggal terhadap kota. Kejatuhan Jayakarta tinggal menghitung hari. Dengan tujuh belas armada kapalnya dari Maluku, Coen memimpin sendiri penyerangan terhadap Banten dan Jayakarta. Tepat pada tanggal 30 Mei 1619, Kota Jayakarta dihancurkan. Daerah yang direbut menjadi bagian dari Batavia. Pada 4 Maret 1621, secara resmi Batavia dikukuhkan sebagai nama kota. Mimpi Coen untuk menjadikan Batavia sebagai pusat kerajaan dagang yang terbentang mulai dari Tanjung Harapan hingga Jepang pun dimulai. Mall Jaman Sekarang Lantas ada apa dengan pusat perniagaan jaman sekarang? pertanyaan itu untuk memulai mengkomparasi kenyataan bahwa berawal dari mall penjajahan dimulai. Banyak yang bilang bahwa penjajahan jaman sekarang bukan bersifat fisik seperti tanam paksa, kerja paksa dan paksa-paksaan lainnya yang terlihat. Penjajahan jaman sekarang adalah paksaan pada kebutuhan untuk terus menerus menjadi konsumtif. Tidak sadar di jajah oleh merek, oleh gengsi dan oleh mall itu sendiri. Mall sudah menginvasi daerah-daerah vital yang menjadi tempat hidup semua mahluk. Baik manusia maupun hewan. Mall dibangun dibekas sawah, ladang dan pemukiman yang terpaksa harus ditinggalkan karena pembangunan mall. Banyak sawah yang menjadi korban, sawah hilang berarti sumber makanan harus mendatangkan dari luar. Jika mendatangkan dari luar berarti konsekuensinya kita bergantung pada pihak luar penyedia makanan tersebut. Jika kita bergantung pada pihak luar maka pihak luar dengan mudahnya memainkan harga, kualitas dan kuantitas semaunya. Inilah bentuk penjajahan yang tidak terasa sudah sangat merasuki semua manusia Indonesia, kecuali daerah yang belum terinvasi oleh mall. Pada awalnya pusat perniagaan, berkembang menjadi pemukiman lalu menjadi benteng dan akhirnya menguasai kota. Kondisi nyata terjadi pula di beberapa kota, sebut saja Kota Bandung. Pada awal berdirinya, ijin dikeluarkan untuk pembangunan mall, lalu berkembang sedikit-sedikit dibangun tempat bermain, berkembang kemudian menjadi tempat parkir dengan alasan tempat yang sudah ada tidak bisa menampung parkir, berkembang kemudian tumbuh hotel. Yang awalnya hanya sebuah mall dengan kawasan hijau yang asri, kini berkembang menjadi sebuah tempat bermain dan hotel. Lalu apa kata walikota melihat perkembangan tidak sesuai ijin ini. "kami kecolongan" setiap kali ada pembangunan, selalu jawaban saktinya adalah "kami kecolongan". halagh cape dech. Adalah sangat wajar jika ada beberapa kalangan yang menolak pembangunan di beberapa tempat di Kota Bandung. Mereka khawatir kejadian "kecolongan" dan "kecolongan" terus menjadi trend dan sikap developer terus saja membangun agar terus kecolongan, bangun saja dulu, ijin belakangan. Untuk mengantisipasi ini, baiknya pihak terkait, birokrasi dan aparat penegak hukum tegas terhadap segala jenis pelanggaran pembangunan. Saya katakan "saya bukan anti pembangunan, hanya saja pembangunan yang tidak ramah lingkungan, tolong jangan dipaksakan hanya untuk mengejar gengsi dan kebutuhan yang tidak perlu". Sawah jangan dihilangkan, masa kita harus kehilangan bebegig dan kita hanya bisa melihat sawah di mall. kritik saja, sawah jangan diganti oleh mall dan tolongan jangan tamak seperti Amerika!. (Iden Wildensyah) Sumber: www.id.wikipedia.com Ito, E. Rahasia Meede. 2007. Hikmah. Bandung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun