Mohon tunggu...
Iden Wildensyahâ„¢
Iden Wildensyahâ„¢ Mohon Tunggu... Administrasi - Senang jalan-jalan, menulis lingkungan, dan sesekali menulis ide yang muncul tentang pendidikan kreatif. Temui saya juga di http://www.iden.web.id

Senang jalan-jalan, menulis lingkungan, dan sesekali menulis ide yang muncul tentang pendidikan kreatif. Temui saya juga di http://www.iden.web.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dalam Perspektif Anak

28 November 2010   22:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:13 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan ini terinspirasi oleh beberapa tayangan anak-anak ditelevisi, salahsatunya adalah kisah sikembar Ipin dan Upin. Diakui atau tidak, kehadiran Ipin dan Upin sudah mendapatkan tempat diruang hati anak-anak Indonesia. Kehadiran merasuki benak anak-anak Indonesia ini terlihat dari membanjirnya produk produk sampingan dari tayangan tersebut. Walaupun bisa jadi, sipemroduksi atau siperusahaan pembuat film animasi ini tidak tahu bahwa banyak produk sampingan yang laris dipasaran. Produk sampingan yang beredar dipasaran ini, saya anggap sebagai keberhasilan Ipin dan Upin dalam merebut ruang penonton anak-anak Indonesia. Indikatornya, tidak mungkin mencetak kaos, balon, boneka, topi dlsb jika tokoh tersebut tidak dikenali atau tidak disukai anak-anak Indonesia. Produk sampingan tersebut bisa ditemui dipusat-pusat perbelanjaan seperti mall, pasar tradisional, emperan, kaki lima dan toko-toko baju. Hampir semua ada sosok tokoh Ipin dan Upin ini. Bahaya Ipin & Upin [caption id="attachment_181856" align="alignright" width="259" caption="Upin dan Ipin (shaggy.student.umm.ac.id)"][/caption] Dalam persfektif orang dewasa,  Ipin dan Upin itu berbahaya. Perlahan tanpa disadari film anak-anak Ipin & Upin merasuk ke dalam jiwa anak-anak Indonesia dengan baik. Lakunya desain baju, boneka dan balon karakter Ipin & Upin menunjukan bagaimana dominasi Ipin & Upin mampu mengalahkan karakter tokoh film kartun lainnya seperti Spongebob, Mikey Mouse dll. Keberhasilan mendominasi pasar Indonesia perlahan diikuti dengan muatan-muatan berisi pengaruh budaya Malaysia. Tidak bisa disalahkan karena Ipin dan Upin lahir dari Malaysia. Ipin & Upin semula hadir ditengah-tengah masyarakat Indonesia saat Ramadhan tahun 2006an. Hanya sekilas-sekilas saja, waktu tayangnya pun terbatas pada saat sahur dan menjelang buka. Kehadiran sangat kocak tetapi berisi pelajaran tentang berpuasa. Dari mulai hari menjelang puasa, waktu sahur, saat puasa, saat buka, tarawih, zakat dan sholat Idul Fitri. Isinya lumayan bagus karena mengajarkan doa-doa yang diharuskan saat menjalankan ibadah puasa, seperti doa niat sahur, doa berbuka puasa. Amalan-amalan baik seperti harus saling bermaaf-maafan dikala habis sholat Idul Fitri, menghormati orang tua, disiplin dalam beribadah sholat dll. Disela-sela hal baik tersebut ada sedikit pertanyaan yang tersirat muncul tiba-tiba. Misalnya ketupat, seingat saya ketupat dihari lebaran adalah ciri khas lebarannya Indonesia. Kalau mengambil setting Malaysia yang berbatasan dengan Kalimantan, toh Ketupat rasanya bukan dari Kalimantan. Lalu Atuk atau kakek dalang wayang kulit, seingat saya dalang wayang kulit itu atau wayang kulit itu adalah milik Indonesia, terutama Jawa. Dalang yang memainkan wayang kulit rasanya tidak berasal dari Kalimantan, apalagi Malaysia. Episode selanjutnya adalah Rasa Sayang, judul ini seolah menegaskan bahwa lagu rasa sayang adalah lagu Malaysia. Seorang pembaca harian Pikiran Rakyat di Bandung, menuliskan kegelisahan perihal ini. Dia takut jika budaya-budaya yang sebenarnya berasal dari Indonesia perlahan dijejalkan pada anak-anak kecil sebagai budaya Malaysia. Sayangnya counter opinion atas Ipin & Upin ini belum terlihat dalam tayangan televisi kita. Bisa jadi kekalahan telak tayangan entertaiment kita sedang membuat formulasi agar Ipin & Upin tidak terus menerus merasuki jiwa anak-anak. Langkah terbaiknya hanya, membatasi tayangan Ipin & Upin atau kurangi menonton dan perbanyak aktivitas membaca. Beda Persfektif Sebelum masuk ke dalam sisi pemikiran anak-anak, saya ingin menyampaikan beberapa poin yang masuk dalam persfektif orang dewasa. Bahwa Ipin dan Upin bisa menjadi alat propaganda Malaysia terhadap anak-anak Indonesia. Misalnya menyebutkan beberapa kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaan Malaysia. Contohnya Atuk Dalang yang jagoan main wayang kulit. Kita harus tahu bahwa wayang kulit itu hadir dari pulau Jawa di Indonesia. Secara tidak sadar, Malaysia akan menanamkan pada anak-anak Indonesia untuk mengakui bahwa wayang kulit juga bagian dari budaya Malaysia. Untuk masalah klaim budaya ini, beberapa bidang seni sudah memprotes, misalnya Reog Ponorogo yang pernah seolah-olah diklaim Malaysia, seniman rame-rame mengangkat ke media. Atau tarian Bali yang juga diprotes karena hanya ada di Bali dan bukan Malaysia. Itu dari sisi persfektif orang dewasa, khawatir jika Ipin dan Upin akan menjadi alat propaganda Malaysia terutama bagi anak-anak. Sementara dalam benak anak-anak, saya yakin Ipin dan Upin sangat menyenangkan, lucu dan menghibur. Hal ini terbukti pada anak lelaki saya yang baru berumur 2,8 tahun. Bagi anak kecil itu, tak peduli tayangan Ipin dan Upin diulang-ulang, yang penting pada saat yang bikin tertawa, dia tertawa sangat asik. Hal positif lainnya, misalnya mengajarkan anak berpuasa, membaca doa, berlaku baik dan saling membantu satu sama lain. Untuk hal positif, saya kira tidak ada salahnya Ipin dan Upin menjadi tayangan alternatif daripada sinetron Indonesia yang tidak jelas. Sisi lain yang menarik dari beda persfektif dalam memandang sebuah tayangan film anak-anak adalah Si Unyil dan Kawan-kawannya. Tayangan Si Unyil ini melegenda sejak tahun 1980-an. Saya masih kecil, makanya saya bisa melihat dari sisi saya dahulu ketika masih berumur 5-8 tahunan. Dalam benak saya waktu itu, Unyil adalah sosok yang sangat baik, suaranya khas dan perilakunya sangat baik. Unyil berteman baik dengan Usro, Pak Ogah dan Pak Raden. Unyil memberikan sisi yang nyaris tanpa kritik dalam persfektif saya ketika masih kecil. Kenyataan tayangan si Unyil tetap memiliki kritik dari orang dewasa pada waktu itu. Saya tahu kritik ini dari seorang senior di kampus. Si Unyil ternyata dikritik karena dewasa dari semestinya. Cara berbicara Unyil tidak lebih dari propaganda Orde Baru pada waktu untuk urusan misalnya, KB, Poskamling, Gotong Royong, Pancasila dslb. Karena membawa isu dan propaganda Orde Baru itu, Si Unyil dianggap tidak relevan bagi anak-anak Indonesia pada waktu itu. Sayangnya ketika saya kecil, saya tidak sekritis pemikiran senior saya. Kejadian beda persfektif ini sangat menarik karena sekarang saya melihat dari banyak sudut pandang. Sebagai anak kecil yang mengidolakan Si Unyil dan sebagai seorang Ayah dari anak yang menyukai film Ipin dan Upin. Pada akhirnya saya menyerahkan pada anak saja, tergantung dari sisi mana dia melihat. Sebagai orang tua, yang bisa dilakukan hanya mendampingin serta menjelaskan jika ada hal yang ditanyakan anak kecil. Mengarahkan pada sisi yang baik serta menghindari sisi yang jelek. Sebagai orang tua yang peduli kebudayaan, sudah waktunya bertindak menyeimbangkan antara tontonan Ipin & Upin dengan mengajak anak-anak mengeksplorasi alam Indonesia yang indah ini. Ajaklah anak-anak anda bermain di alam terbuka agar mereka mencintai alam dan budaya Indonesia. Menonton tayangan televisi baik tetapi harus dibatasi agar terhindar dari kebiasaan nonton. Lebih baik membacakan dongeng, menceritakan kisah-kisah positif dan jangan lupa mengajak terus bermain. Karena anak suka bermain. (Iden Wildensyah)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun