[caption id="attachment_246962" align="alignright" width="200" caption="Turun Gunung harus hati-hati (www.cwsd.org)"][/caption] Turun gunung! Bukan petapa yang turun ke masyarakat setelah berguru dan mencari ilham untuk menaikan derajat keilmuannya. Juga bukan tentang kisah murid guru silat yang hendak memberantas kejahatan. Turun gunung ini adalah menuruni gunung setelah melakukan pendakian. Yah.. Kegiatan selanjutnya setelah mendaki gunung adalah menuruni gunung. Jangan anggap enteng menuruni gunung karena banyak kasus kecelakaan terjadi pada saat menuruni gunung. Seperti terpeleset dan masuk ke jurang yang sangat dalam, atau tersesat lalu mencari lembah dan di lembah buntu menemui jurang lagi. Pada saat memanjat tebing juga demikian, pada saat turun tebing banyak kasus jatuhnya pemanjat, terpeleset dan jatuh korban jiwa. Bisa dimengerti mengapa kasus korban jiwa pada saat turun gunung itu banyak dan turun gunung itu beresiko tinggi dan sama besar dengan naik gunung itu sendiri. Dari pengalaman selama mendaki gunung dan kejadian tersesat selama beberapa hari di gunung saat mendaki gunung, saya bisa membagi kasus ini terjadi karena kelengahan dan kepercayaan diri terlalu tinggi. Kelengahan saat menuruni gunung adalah kebalikan dari konsentrasi saat naik gunung. Pada saat mendaki gunung, konsentrasi penuh dan perjuangan berat menuju puncak gunung. Tujuan yang hendak dicapai adalah puncak gunung, sampai dipuncak gunung adalah prestasi bagi pendaki gunung, kesuksesan bagi tim dan prestasi juga untuk organisasi. Maka mendaki gunung di laksanakan dengan sangat hati-hati agar puncak prestasi naik gunung bisa didapat dengan selamat. Setelah puncak didapat, maka serta merta semua rasa lelah, frustasi sepanjang jalan itu sirna, digantikan oleh pemandangan dan rasa sukses atas pencapaian puncak gunung yang baru saja di pijakan. Setelah rasa sukses dan keberhasilan ini, kadang pendaki lupa bahwa potensi bahaya turunpun tidak jauh beresiko. Keberhasilan di puncak gunung tersebut kadang membuat lupa konsentrasi. Kalau sudah tidak konsentrasi maka kita akan lengah. Jika kita lengah maka bersiaplah menerima resiko atas kelengahan kita. Kepercayaan diri terlalu tinggi berawal dari keberhasilan menginjakan kaki di puncak gunung. Setelah merasa diri berhasil dipuncak gunung, biasanya meremehkan kegiatan menuruni gunung dengan alasan ''sudah dilewati sebelumnya''. Padahal, sewaktu-waktu alam bisa berubah, kadang terang, kadang gelap, kadang hujan, kadang berkabut yang bisa mengaburkan trek jalan sebelumnya. Kepercayaan diri terlalu tinggi pernah saya alami, lebih tepatnya pada teman saya yang dengan mudahnya mengalihkan jalur penurunan hanya berdasarkan insting, bukan pada peta yang dibawa. Alasan perasaan, misalnya pada saat terjadi polemik pemilihan jalur, di satu sisi mengandalkan peta dan kompas, disisi lain hanya mengandalkan 'perasaan' misalnya ''seingat saya, perasaan tadi kita belok kiri, berarti sekarang tinggal belok kanan sebaliknya''. Kalau hanya satu orang sih tidak apa-apa, tapi kalau berhubungan dengan banyak dan orang dan mayoritas menyetujui, bersiaplah menerima resiko atas 'perasaan' tersebut. Itulah sekelumit dinamika menuruni gunung, sesuatu yang dilaksanakan lebih mengasikan daripada tulisan. Percayalah bahwa mendaki gunung dan menuruni gunung itu satu paket yang sangat mengasikan dan kadang terlalu indah untuk dituliskan. Tulisan ini adalah hanya bagian kecil saja dari pengalaman selama mendaki dan menuruni gunung. (Iden Wildensyah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H