Mohon tunggu...
Iden Wildensyahâ„¢
Iden Wildensyahâ„¢ Mohon Tunggu... Administrasi - Senang jalan-jalan, menulis lingkungan, dan sesekali menulis ide yang muncul tentang pendidikan kreatif. Temui saya juga di http://www.iden.web.id

Senang jalan-jalan, menulis lingkungan, dan sesekali menulis ide yang muncul tentang pendidikan kreatif. Temui saya juga di http://www.iden.web.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tenggelam di Lautan Buku

20 Februari 2010   10:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:49 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_78163" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi diunduh dari Google.com"][/caption] Kalau haus yaa minum saja, kalau haus baca ya tinggal membaca saja tetapi kalau tenggelam dalam air, yang ada boro-boro minum, air yang masuk pun harus dimuntahkan. Ini membaca, beda halnya dengan minum. Ketika tenggelam dalam buku bacaan rasanya seperti berada di dunia lain. Tenggelam lebih dalam, dalam dan dalam terus sampai kedasarnya maka anda akan mual dan berasa akan muntah. Tenggelam terlalu dalam di lautan buku itu ternyata tidak mengenakan. Rasanya ingin cepat-cepat bangkit dan berlari mencari orientasi yang sesungguhnya. Saya sedang merasa disorientasi membaca buku. Kehilangan arah dan benar-benar tidak menikmati membaca buku seperti dulu. Seperti saat merasakan buku itu adalah pelarian intelektual yang bisa memabukan dan memenuhi kelaparan jiwa serta kekosongan dalam berpikir. Dahaga akan informasi yang baru, tentang wacana yang bisa mengembangkan sayap-sayap ide yang liar terbang kesana-kemari. Saya merasa benar-benar tidak tahu arah membaca. Masuk dari satu toko buku ke toko buku lainnya, atau dari satu pameran buku ke pameran buku lainnya. Rasanya saya benar-benar tersiksa diantara banyak buku yang ditata rapi di etalase. Begitulah ketika saya memasuki Landmark di Jalan Braga Kota Bandung saat pameran buku. Buku ini, buku itu, sastra, novel, teknik, kiat praktis motivasi, berpikir positif dan majalah tidak ada satupun yang bisa mengalihkan perhatian untuk bisa merasakan kembali membaca buku. Buku tebal, buku tipis, buku bergambar, buku ideologi semuanya sama saja, tidak berpengaruh bagi saya saat ini. Saya benar-benar merasa sedang diorientasi membaca. Dulu saya mengikuti perjalanan Marcopolo lewat buku atau cerita Ayu Utami tentang seorang pemanjat tebing juga dari buku tebalnya. Tetapi itu dulu, sekarang tidak lagi. Yang terpikirkan sekarang hanya... Tahu gejrot. Sudah lama saya tidak merasakan Tahu khas Cirebon ini, pedasnya dan bumbunya yang khas. Landmark adalah tempat favorit para bagi para penyelenggara even-even pameran terutama dikala musim hujan. Tempatnya strategis dilalui banyak kendaraan. Selain Landmarknya yang bersejarah juga jalannya yang terkenal. Jalan Braga adalah maskot Kota Bandung yang terkenal ke seluruh dunia, suasananya seperti Eropa. Bangunan tuanya sangat eksotis, banyak wisatawan yang mengabadikan kehadiran di Jalan Braga dengan gaya-gaya khasnya. Pameran Buku Bandung selalu digelar di gedung yang bersejarah ini. Dulu pernah saya kritik karena terlalu banyak buku islamnya, pameran buku harusnya universal. Kalau pameran buku islami hendaknya membuat acara sendiri saja. Untungnya pameran buku kali ini, isinya beragam. Dari buku-buku kuno sampai yang terbaru terbitnya ada di pameran buku ini. Saya mengunjungi pameran buku ini berharap kembali menemukan orientasi membaca, merasakan kembali tenggelam di lautan buku dan menemukan kenikmatan berselancar di dunia buku. Kenyataan saya belum menemukan itu. Saya hanya mencoba mendapatkan dengan sebuah buku cerita saja terbitan Yayasan Obor Indonesia yaitu cerita pendek Oscar Wilde berjudul Pangeran yang selalu Bahagia. Untungnya juga disela-sela pencarian buku ada diskusi buku berjudul Komunisme di Indonesia diterbitkan oleh Pusjarah TNI bekerja sama dengan Yayasan Kajian Citra Bangsa (YKCB) yang salahsatu pembicaranya adalah Taufik Ismail. Diskusi itu juga kurang menggigit karena seragam dan tidak menarik untuk dikaji. Lebih tepatnya tidak ada sesuatu yang baru untuk dieksplorasi. Yang menarik menurut saya, jika salahsatu panelis diskusinya pro komunisme. Kalau begini pasti ada dinamika, ada diksusi tiga arah dan peserta bisa mencari segmen lain untuk ditanyakan. Kembali ke lautan buku di pameran itu, bukunya sama saja, tidak unik, tidak berbeda malah membuat saya semakin merasa disorientasi. Saya sedang tenggelam yang tidak mengenakan di lautan buku. Yang enak sekarang, ahaaa Tahu Gejrot saja. Mang, tahu gejrotna saporsi nya, ladana tong lada teuing, sedeng we.. Tahu Gejrot yeaaaah! [caption id="attachment_78170" align="aligncenter" width="118" caption="Tahu Gejrot (Ilustrasi diunduh dari Google.com)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun