Masih pada pembahasan sebelumnya yaitu presidential Threshold 20% atau ambang batas sebagai syarat untuk mengusulkan presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik. Presidential Threshold ini sudah ada sejak awal adanya pemilu yaitu 2004 pada waktu itu ambang batasnya sekitar 15% kursi DPR atau 20% suara sah nasional. UU itu dibuat sekitar tahun 2003 menjelang pemilu dengan sistem pemilu legislatif dilaksanakan terlebih dahulu sebagai tolak ukur persyaratan partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.Â
Di tahun 2008 amandemenlah UU pemilu termasuk juga didalamnya Threshold ini dinaikkan menjadi 20% untuk pemilu 2009 yang sampai sekarang masih berlaku dan dipakai. Akan tetapi sistem pemilunya tidak serentak masih menggunakan sistem pemilihan legislatif terlebih dahulu setelah itu baru pemilihan presiden dan wakil presiden. Di tahun 2014 tidak ada perubahan terhadap aturan ini. Sekitar tahun 2017 diaturlah kembali UU pemilu tahun 2017. Dalam UU no 07 tahun 2017 pasal 222 yang berbunyi "pasangan calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi DPR 20% atau suara sah nasional 25%.
Celakanya pada pemilu 2019 disepakati bersama pemerintah dan DPR untuk melaksanakan pemilihan umum dilaksanakan secara serentak, dan menggunakan ambang batas pada tahun 2014 atau data 5 tahun sebelumnya yang sebetulnya sudah kadaluarsa dan sudah pernah dipakai. Data 2014 itu sudah pernah dipakai sebagai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 2014 dan dipakai lagi pada 2019. Sedangkan dasar adanya presidential Threshold ini adalah legislatif dilaksanakan terlebih dahulu setelah itu baru pemilihan eksekutif. Didalam ilmu pemilu tidak ada ilmunya dan tidak berdasar Threshold 20% itu.Â
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem presidensiil. Salah satu ciri dari sistem presidensiil adalah pemisahan kekuasaan menjadi 3 atau yang biasa kita sebut sebagai Trias politica ada legislatif ada eksekutif dan ada yudikatif. Termasuk juga didalamnya adalah pemilihan yang terpisah antara legislatif dan eksekutif. Akan tetapi dipaksakan seperti itu yaitu pemilihan umum secara serentak dengan Threshold 20% lima tahun sebelumnya.Â
Padahal tidak ada negara di dunia ini yang melaksanakan pemilu serentak yang ada presidential Thresholdnya. Hanya Indonesia yang menggunakan sistem seperti ini. Dan Mahkamah konstitusi sendiri tetap kekeh dengan menggunakan argumennya tentang presidential Threshold ini dengan "open legal policy". Open legal policy yaitu kebijakan hukum yang terbuka artinya hal ini adalah dikembalikan aturan ini kepada kesepakatan DPR. Politik hukumnya pun sudah jelas ketika mayoritas DPR bersepakat untuk menggunakan presidential Threshold ini sebagai ambang batas meskipun pemilunya serentak.Â
Sama halnya untuk pemilu 2024 yang akan datang sistemnya serentak dan menggunakan Threshold 20% yang merupakan syarat yang kadaluarsa. Karena pemilu merupakan evaluasi pemerintahan setiap 5 tahun sekali. Harusnya tidak boleh ada Threshold artinya 0% ( nihil persen ). Supaya kedaulatan rakyat itu benar benah terlaksana bukan hanya arogansi partai politik tertentu pemenang pemilu tahun 2019 lalu dan ingin terus memelihara arogansinya di 2024.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H