Moral adalah suatu sudut pandang atau suatu konsep dalam menilai baik dan buruknya perilaku seseorang. Suatu konsep tradisi kuno yang dirawat dan dijaga hingga sekarang. Baik didalam agama atau pun budaya. Seperti cara berpakaian, ucapan, dan tindakan.Â
Di indonesia sendiri, moral sudah diperkenalkan di sekolah-sekolah. Jika manusia ingin di hormati oleh suatu masyarakat maka dia harus bermoral tinggi (positivity).
Dan dapat kita saksikan juga bagaimana cara masyarakat Indonesia memandang seseorang sebagaimana cara berpakaiannya. Berpakaian brandalan dan seksi dianggap sebagai hal yang nakal dan melanggar nilai yang sudah sama-sama disepakati masyarakat. Namun, disatu sisi orang yang berjubah dan membawa embel-embel agama akan disanjungi, dipuji dan diikuti.Â
Meski kadang orang tersebut sering kali memanfaatkannya demi kepentingan pribadi. Dibalik jubah kuno yang membungkus dirinya, terdapat hati yang munafik dan licik. Mencari nafkah dengan memanfaatkan ketakutan orang lain akan kutukan didalam neraka.
Ada pun konsistensi karakter diri merupakan bagian utama dari moral. Penilaian konsistensi di dalam moral meliputi kesesuaian dan keberlanjutan yang sama secara terus-menerus antara ucapan dan tindakan. Namun melakukan hal ini adalah suatu tindakan yang sulit. Seperti yang dapat kita saksikan sekali lagi. Banyak politikus menebar janji sebelum mendapatkan kursi dipemerintahan.Â
Namun setelah dia berhasil menduduki salah satu kursi dipemerintah. Satu-persatu janjinya dilupakan dan ditinggalkan. Tidak ada satupun janjinya yang dapat terealisasikan. Dan diperiode berikutnya dia kembali membuat janji akan menepati semua janji sebelumnya. Dan sekali lagi, itu semua hanya sebatas ingin mendapatkan kursi. Tidak lebih dari penjilat penguasa.
Moralitas terus dikumandangkan ditengah-tengah masyarakat. Baik didalam tempat ibadah, bahkan disekolah-sekolah. Tetapi kasus korupsi masih belum bisa teratasi. Seakan moralitas tidak memiliki tempat dinegeri ini. Ia absolut.
Disatu sisi, di negeri menjunjung tinggi nilai demokratis. Minoritas seakan terus diberi batasan. Dibatasi dalam berekspresi apa yang selama ini dia pahami. Kaum perempuan terus ditindas. Mulai dari cara berpakaian hingga pikiran. Tidak bisa mengelak atau pun memberontak. Seperti budak yang harus patuh pada majikannya. Disatu sisi lainnya, Anak-anak terus dipaksa oleh orang tuanya melakukan sesuatu yang tidak berguna dan bermakna.
Wildan M k, 26 Oktober 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H