Riuh-riuh pesta demokrasi lokal mulai menyeruak di ruang pemberitaan publik. Seraya, politik citra para kontestan dibangun seanggun mungkin demi mendulang suara sebanyak-banyaknya. Pesta demokrasi lima tahunan ini seolah menjadi ajang paling "prestisius" di daerah, bukan hanya bagi para elit partai dan kontestannya, bahkan masyarakat sebagai peserta pilkada pun juga turut serta menikmati kehebohannya.
Gelaran pilkada 2018 yang akan memilih gubernur dan bupati/walikota tersebut akan digelar secara serentak di 171 daerah. Sebanyak 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota akan secara berbarengan menyelenggarakan pesta demokrasi untuk menentukan pemegang kuasa di daerah. Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2017, pemungutan suara akan dilaksanakan pada 27 Juni 2018 mendatang. Tahap demi tahap telah tersusun rapi. Perhelatan besar pilkada sebagai selebrasi daulat rakyat di daerah harus sejalan dengan perencanaan. Menjadi sebuah keniscayaan untuk taat asas dan norma hukum. Tak boleh salah, apalagi sampai pada level malapraktik penyelenggaraan.
Malapraktik Pilkada
Dalam sebuah negara demokrasi, proses pemilihan umum merupakan organ inti penyelenggaraan pemerintahan. Bak seperti jantung yang berfungsi memompa darah ke seluruh organ tubuh, pemilihan umum juga berfungsi sebagai piranti utama yang memompa daulat rakyat ke seluruh organ pemerintahan. Dari proses pemilihan yang sehat, stabilitas aliran legitimasi rakyat dalam urat nadi kebijakan negara pun akan terus terjaga.Â
Namun jika proses pemilihan umum tidak berjalan sesuai prosedur atau dalam bahasa kekinian disebut "malapraktik", kuat diduga demokrasi kita sedang terkena penyakit kronis.
Sarah Birch dalam bukunya Electoral Malpractice (2011) mendefinisikan malapraktik pemilihan umum sebagai manipulasi yang terjadi dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pemilihan umum yang bertujuan untuk kepentingan perseorangan.Â
Terdapat tiga kategori yang masuk dalam klasifikasi tindakan malapraktik pemilihan umum; Pertama,manipulasi terhadap peraturan pemilu (manipulation of election legal framework); kedua,manipulasi pilihan pemilih yang bertujuan mengarahkan atau mengubah pilihan dengan cara yang manipulatif (manipulation of vote choice); dan ketiga,manipulasi terhadap proses pemungutan dan perhitungan suara hingga pengumuman hasil pemilu (manipulation of electoral administration). Dari ketiga kategori tersebut, seluruhnya dapat terjadi dalam setiap tahapan proses pemilihan umum.
Jika melihat penyelenggaraan pilkada serentak 2017 lalu, ternyata masih menyisakan pekerjaan rumah. Setidaknya problem besar pilkada 2017 berpulang pada masalah penegakan integritas, baik pada integritas manajemen Pilkada maupun integitas penyelenggaraan Pilkada.Â
Merujuk pada laporan Bawaslu perihal evaluasi pengawasan penyelenggaraan Pilkada 2017, masalah rendahnya ketaatan aturan main pilkada serentak, money politic, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), pemenuhan hak-hak pemilih, dana kampanye, black campaign, dan kualitas saksi di TPS masih menjadi catatan merah pelaksanaan pilkada tahun lalu.Â
Dengan menggunakan frame Sarah Birch, kesemua problem pilkada serentak tahun 2017 dapat dikualifikasi masuk dalam ketiga kategori malapraktik pemilihan umum.
Oleh karenanya sebagai upaya menjaga tongkat estafet pesta demokrasi di daerah, perbaikan penyelenggaraan pilkada menjadi sebuah keharusan yang tak boleh ditawar lagi. Perbaikan penyelenggaraan pilkada ini menjadi penting untuk menciptakan proses penyelenggaraan pesta demokrasi yang berintegritas.Â