Manusia diciptakan sebaik-baik bentuk, dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan Allah. Yang dilengkapi dengan perangkat yang jauh lebih lengkap dari makhluk Allah lainnya, bahkan dengan malaikat Allah. Secara fisik selain lebih indah dari makhluk lainnya, manusia juga dapat bergerak dan menggerakkan anggota tubuhnya lebih variatif dari makhluk lainnya, bahkan manusia mampu menirukan banyak gerakan makhluk Allah yang lain.
Begitu mulianya malaikat, namun tidak dilengkapi dengan nafsu, sehingga malaikat tidak memiliki kecenderungan dan keinginan apapun. Malaikat tidak makan dan minum, tidak berhasrat, tidak bercita-cita, tidak memiliki dorongan untuk melakukan hal-hal sebagaimana manusia memiliki hasrat untuk melakukan banyak hal. Bahkan begitu Adam (manusia) diciptakan, Allah memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud (tunduk) kepada manusia, hal ini tidak lain karena Allah menganugerahkan manusia berupa ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan inilah manusia akan terangkat derajatnya, dengan catatan manusia yang beriman. Demikian Allah tetapkan yang demikian itu, Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu.
Perhatikanlah binatang, diciptakan oleh Allah tidak selengkap manusia. Apapun yang dilakukan baik bergerak maupun tidak dalam keadaan bergerak semua dilakukan karena dorongan nafsu. Binatang tidak memiliki potensi untuk meredam dan mengendalikan nafsu, binatang tidak memiliki kemampuan mengendalikan diri, jika datang nafsu untuk menyerang, maka siapapun dan apapun akan diserang.
Manusia diciptakan begitu sempurna dan penuh keseimbangan, lengkap dengan indra, akal, pikiran, nafsu, kalbu. Dengan keitimewaan dan kesempurnaan inilah kemudian mansia berani menerima amanah dari Allah untuk mengelola bumi dan seluruh isinya. Amanah inilah yang pernah ditolak oleh Bumi, langit dan gunung... begitu manusia menerima kemudian manusia dianggap sebagai Zaluuman Jahuulaa (zalim dan bodoh).
Karena dengan indra, akal-pikiran, kalbu inilah kemudian, zaluuman Jahuulaa dapat tertutupi, zalim dan bodoh kemudian dapat dihilangkan oleh kemampuan manusia menggunakan akal dan pikiran serta kalbunya dalam mengelola bumi dan isinya[1]. Namun jika manusia tidak menggunakan akal, pikiran dan kalbunya dengan benar, maka label zalim dan bodoh akan kembali melekat dalam dirinya. Dampak dari kezaliman dan kebodohan manusia, akan dapat merusak alam semesta, merusak dirinya, dan juga merusak orang lain dan makhluk lainnya. Sehingga akibat kebodohan dan kezaliman tersebut menjadi tanggunggjawab manusia itu sendiri. Manusia tidak dapat menyalahkan Sang Penciptanya, karena Sang Pencipta telah memberikan potensi untuk melakukan perbuatan-perbuatan terpuji yakni, akal-pikiran dan kalbu. Allah menegaskan : "Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepadadiri mereka sendiri" (Q.S.Yunus: 10: 44). Dalam surat An-Nisa (4) ayat 79 Allah juga mengingatkan melalui firmanNya: "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri".Â
Akal menjadi salah satu unsur yang sangat penting dalam diri manusia. Dengan akal manusia merekam semua fenomena alam kemudian dijadikan sebagai pengetahuan, mendorong manusia berpikir sesuai dengan pengetahuan. Pikiran yang ada dalam manusia akan dapat menentukan keberadaan dirinya. Seorang filosof bernama Rene Descartes mengatakan "cogito ergo sum"Â (saya berpikir maka saya ada). Keberadaan manusia ditentukan oleh fungsionalisasi akal pikirannya. Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi mengatakan: "pikiran adalah alat ukur yang digunakan manusia untuk memilih sesuatu yang dinilai lebih baik dan lebih menjamin masa depan diri dan keluarganya".Â
Dengan pikiran manusia dapat menentukan baik, tidak baik, buruk, benar, salah, positif, negative. Pikiran menjadi sumber manusia untuk bertindak... tindakan yang muncul adalah wujud dari apa-apa yang dipikirkan. Oleh karena itu isilah pikiran dengan hal-hal yang positif agar wujud tindakan menjadi positif. Jika berpikir bahagia, maka kita akan bahagia, jika pikiran dipenuhi dengan sengsara, maka kita hidup dalam kesengraan. Plato: "Sumber setiap prilaku adalah pikiran. Dengan pikiran kita bisa maju atau mundur. Dengan pikiran kita bisa bahagia atau sengsara". Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S: Az-Zumar : 9).
Begitu pentingnya pikiran yang dimiliki manusia, untuk dapat digunakan demi kebaikan dan kebahagiaan. Dengan pikiran manusia dibawa untuk mengetahui berbagai ilmu pengetahuan yang digunakan untuk mengarungi kehidupannya. Sehingga Allahpun menegaskan hal tersebut dengan mengajukan pertanyaan samakah orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.
Melalui pikiran seringkali terbangun persepsi yang sesuai dengan apa-apa yang dipikirkan, bahkan hubungan yang tercipta antar sesama menjadi harmonis, tidak harmonis, menyenangkan tidak menyenangkan, atau lainnya terbentuk atas pikiran yang terjadi dalam diri seseorang. Bisa jadi pernyataan yang dikeluarkan karena terdorong oleh apa yang ada dalam pikiran seseorang. Aristoteles menyatakan: "pikiran akan dapat menjadikan hidupmu berbunga-bunga atau berduri-duri". Dengan demikian, marilah membiasakan diri untuk selalu berpikiran positif, karena itu menjadi salah satu cara untuk hidup bahagia. Memperturutkan cara berpikir negative sama saja dengan mengedepankan persangkaan yang tidak didasarkan oleh pengetahuan sama sekali, dan tidak sama sekali memberikan manfaat.Â
Jika kita hendak makan atau minum, dihadapan kita telah terjadi dua makanan dan minuman. Satu bagian makanan dan minuman adalah makanan dan minuman sehat dan bergizi. Sedangkan yang lainnya adalah makanan dan minuman yang tidak sehat dan tidak bergizi, sama sekali tidak mengandung vitamin. Manakah dari makanan dan minuman itu akan kita pilih untuk dimakan dan diminum? Tentunya pasti akan memilih makanan dan minuman yang sehat, bergizi dan mengandung vitamin, tidak mungkin akan memilih yang sebaliknya. Begitulah pikiran kita, jika diisi dengan pransangka baik, maka akan baik pula hasilnya, dan jika diisi dengan hal-hal yang tidak baik, maka prasangka, ucapan bahkan tindakan yang munculpun tidak akan baik. Syekh Imam Nawawi dalam Al-Hikam dinyatakan bahwa hati membutuhkan asupan yang bisa saja berbeda-beda.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H