Anas Urbaningrum, salah satu politisi muda yang diberitakan miring dalam beberapa bulan terakhir. Anas sendiri sudah berkali-kali membantah. (Sumber Foto: KOMPAS, Agus Susanto)
Sejumlah pemberitaan tentang korupsi Wisma Atlet menyebut nama Anas Urbaningrum. Tapi lihatlah, Mas Anas tetap tenang. Dia tidak ikutan panas meski Mohamad Nazarudin berulang kali berujar adanya cipratan duit korupsi Wisma Atlet bagi sang Ketua Umum Partai Demokrat ini.
Tenang dan tetap santun. Itulah dua tampilan yang Anas Urbaningrum saat menghadapi juru warta yang mencegat dan meminta keterangan darinya. Tampilan Anas tak ubahnya eja wantah himbauan Ketua Dewan Pembina PD Susilo Bambang Yudhoyono agar kader partainya senantiasa cerdas, santun, dan bermartabat dalam berpolitik.
Ketenangan Mas Anas, pria kelahiran Blitar Jawa Timur ini masih terpapar dengan jelas di media saat mengikuti rapat tertutup PD pada Selasa kemarin (31/01/2012) di Kantor DPP PD di Jalan Kramat Raya Jakpus. Ketua Umum PD dan Sekjennya yakni Eddy Baskoro Yudhoyono bahkan menyempatkan diri berfoto bersama dengan saling menggenggam tangan. Keduanya tersenyum menyambut kilatan lampu blitz kamera fotografer dan sapuan gambar kameramen. Anas dan Eddy hendak menyampaikan pesan: kompak dan solid menghadapi badai. Benarkah begitu?
Aksi Anas Urbaningrum dan Ibas – sapaan akrab Eddy Baskoro – di depan pemburu warta merupakan bagian dari komunikasi politik keduanya. Komunikasi politik semacam itu merupakan salah satu cara “mengecoh” pandangan publik yang direpresentasikan oleh pemberitaan di media. Publik yang kadung gemes dengan Anas akan merasa heran, loh Mas Anas dan Mas Ibas kok makin kompak aja. Kalau masih kompakan, berarti Mas Anas bakalan “aman.”
Apa yang ditampilkan Anas dan Ibas merupakan bagian dari spin technique dalam ranah public relations. Spin yang berarti memutar memang bertujuan untuk mengubah anggapan, dugaan, pandangan, serta penilaian publik akan suatu hal. Lebih jauh lagi, spin merupakan bentuk dari propaganda. Caranya dengan menyediakan tafsir baru dari sebuah kejadian atau bisa juga dilakukan melalui kampanye untuk mengarahkan opini publik dengan cara yang ramah (providing an interpretation of an event or campaign to persuade public opinion in favor). William Safire (1996) bahkan menyebut teknik spin sebagai tindakan yang mengandung arti tersirat sebagai hal yang tidak tulus (disingenuous), memperdaya (deceptive), serta taktik yang manipulatif (manipulative tactics).
Teknik spin ini banyak dipraktikkan oleh para politisi yang secara khusus ingin mengubah persepsi publik melalui cara-cara yang manipulatif dan penuh kamuflase. Teknik spin semacam ini juga kian mendapatkan ekosistem yang mendukung ketika para politisi kerap berinteraksi dengan media semisal melalui konferensi pers. Inilah yang kemudian memunculkan istilah spin room. Di spin room inilah, para politisi memutar bola lewat aksi dan opininya. Putaran bola tersebut tak ubahnya teknik spin yang kerap dipakai para pebowling untuk menjatuhkan 10 pin di ujang lane.
Setidaknya ada lima teknik spin yang bisa digunakan untuk menghalau pemberitaan yang cenderung menyudutkan yaitu: menyampaikan fakta dan kutipan secara selektif untuk menguatkan posisi tertentu, tidak melakukan penolakan atau bersikap no comment, memberikan pernyataan yang mengasumsikan adanya kebenaran yang belum terbukti, melakukan eufimisme (baca: penghalusan) guna mengaburkan agenda tertentu, dan “mengubur” berita buruk. Mengubur berita buruk ini bisa dilakukan dengan mengabarkan satu hal yang populer di mana pada saat yangs sama ada banyak hal-hal yang dianggap tidak populer. Lewat cara ini, diharapkan media akan fokus pada satu isu.
Dari sekian banyak pemberitaan dan kutipan di media, tampak jelas bahwa teknik spin ini dipraktikkan secara konsisten oleh Anas Urbaningrum. Mas Anas nyaris tidak pernah menyatakan no comment ketika dimintai keterangan. Dalam kondisi yang terdesak misalnya, Mas Anas lebih memilih untuk menyatakan, “Silahkan ditulis apa mbak. Terserah.” Penolakan secara harus ini pernah dialami jurnalis Tempo yang kebetulan mencegat Anas seusai mengikuti sebuah acara.
Berkelit dan berdalih juga bagian tak terpisahkan dari teknik spin. Dalam banyak pemberitaan, kita kerap mendengar atau membaca kutipan dari politisi atau pejabat publik yang kesandung masalah dengan menyatakan, “Loh itu kan katanya.”
Derasnya pemberitaan seputar dugaan korupsi Wisma Atlet yang diduga melibatkan Anas Urbaningrum ini pada akhirnya akan menggiring opini publik bahwa Mas Anas telah “didzalimi” manakala hukum tidak mampu membuktikan keterlibatan sang Ketua Umum PD ini. “Dzalimisasi” (baca: proses pendzaliman) ini sangat mungkin bagian dari skenario besar yang sedang dipentaskan PD menjelang Pemilu 2014. Memunculkan kesan “didzalimi” semacam ini pernah dipraktikkan secara apik oleh SBY ketika didepak dari kabinet Megawati. Simpati kepada SBY pun berhamburan. Dan bukan tak mungkin, Mas Anas tengah menapak jejak sang Ketua Umum Dewan Pembina partainya. Jadi, hati-hati dengan “dzalimisasi” Anas Urbaningrum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H