Mohon tunggu...
Wildan Hakim
Wildan Hakim Mohon Tunggu... Dosen - Dosen I Pengamat Komunikasi Politik I Konsultan Komunikasi l Penyuka Kopi

Arek Kediri Jatim. Alumni FISIP Komunikasi UNS Surakarta. Pernah menjadi wartawan di detikcom dan KBR 68H Jakarta. Menyelesaikan S2 Manajemen Komunikasi di Universitas Indonesia. Saat ini mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta dan Peneliti Senior di lembaga riset Motion Cipta Matrix.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Semangat Hee Ah Lee, Pianis 4 Jari

29 Maret 2012   14:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:17 1675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13344163322023408813

Hei A, demikian gadis Korea kelahiran Pusan Korsel 9 Juli 1985 itu kerap disapa. Namanya panjangnya, Hee Ah Lee. Tingginya hanya 103 centimeter dengan berat badan 33 kilogram. Saat usianya sudah beranjak 19 tahun, tinggi badan Hei A sama dengan anak berumur 4 tahun. Secara fisik, Hei A memiliki sejumlah kekurangan. Gadis yang gemar makan ini, terlahir hanya dengan empat jari di tangannya. Kelainan jemari tangan seperti ini disebut lobster claw syndrome. Sebuah kelainan yang menjadikan jari Hei A berbentuk seperti capit udang, tanpa telapak tangan.Tapi kekurangan fisik, tidak memupus semangat Hei A.

Ibunya, Woo Kap Sun, menginginkan Hei A tumbuh wajar dan memiliki keahlian. Woo sendiri merupakan seorang ibu yang mencintai Hei A sepenuh hati, meski sejak dalam kandungan dia tahu kalau anaknya bakal terlahir cacat. Inilah yang memotivasinya untuk merawat dan membesarkan Hei A sebaik mungkin.

Woo berbsesi menjadikan Hei A seorang pianis. Karenanya sejak kecil Hei A dimasukkan ke sekolah piano. Butuh waktu enam bulan, sampai akhirnya ada sekolah piano yang mau menerima Hei A. Sejumlah sekolah piano menolak mengajar Hei A karena dia hanya punya empat jari. Belum lagi kakinya yang pendek sehingga menyulitkannya menyentuh pedal piano. Beruntung, ada sekolah piano yang bersedia mengajar Hei A.

Untuk diketahui, panjang kaki Hei A hanya sebatas lutut hingga tidak dapat menginjak pedal piano standar. Terpaksa, pedal piano yang dipakai Hei A sengaja ditinggikan agar bisa diinjak oleh kakinya yang pendek.

Awal mula belajar piano, jari-jari tangan kanan dan kiri Hei A tak bisa memainkan tuts-tuts piano secara sinkron. Namun, ibu Hei A dengan sabar menemaninya belajar piano selama tiga bulan pertama. Setelah jari-jari Hei A kuat, terbukti dia bisa memainkan piano seperti orang-orang yang berjari normal. Hei A, gadis berjari empat itu kemudian terkenal sebagai pianis. Meski jarinya hanya empat, Hei A mampu bermain piano dan menggerakkan jari-jarinya secepat dan seluwes orang yang berjari sepuluh.

Kekurangan fisik pada tangan Hei A inilah yang membuatnya harus belajar memainkan sebuah lagu hingga 10 jam. Bahkan, untuk memainkan sebuah lagu dengan notasi rumit, Hei A harus berlatih selama 5,5 tahun. Hei A tak pernah patah semangat. Begitu pula dengan ibunya. Kesabaran sang ibu membimbing Hei A memang tergolong luar biasa. Segala keperluan Hei A dipersiapkan sang ibu. Hei A tak bisa lepas dari ibunya. Karena kesibukannya membantu Hei A, sang ibu akhirnya melepas pekerjaannya sebagai perawat. Kesibukan membantu Hei A itulah yang akhirnya membuat sang ibu paham tentang musik. Ibunya pula yang mengatur jadwal pentas bagi Hei A. Seringkali karena jadwalnya yang sangat padat, tawaran pentas bagi Hei A ditolak. Keputusan itu harus diambil karena pernah dalam satu bulan Hei A harus naik pentas sebanyak 200 kali. Bagi Hei A, bermain piano merupakan hal yang sangat menyenangkan. Terlebih lagi bermain piano di depan banyak orang. Para penggemar Hei A kerap merasa takjub dengan kepiawaiannya menggerakkan empat jarinya secara cepat dan sinkron, menyentuh tuts-tuts piano. Tepuk tangan yang bergemuruh, karangan bunga ucapan selamat menjadi ritual yang tak terlewatkan bagi Hei A seusai pentas. Hei A dengan senyum bersahaja menerima semua sambutan penonton yang diberikan kepadanya. Saat Hei A mulai menyentuhkan jarinya ke tuts-tuts piano, penonton seperti tersihir. Mereka lebih banyak diam dan berdecak kagum akan kelebihan yang diberikan Tuhan kepada Hei A, meski dia tidak terlahir dengan fisik normal. Dengan kondisinya yang serba terbatas itu, Hei A atau Hee Ah Lee menyebut kemampuan yang dimilikinya sekarang sebagai anugerah spesial dari Tuhan. Lewat jari-jari kecilnya, Hei A bisa memainkan Piano Concerto Nomor 21 dari Mozart bersama orkes simfoni. Ia mendapat sederet penghargaan atas keterampilan bermain piano dan membawanya berkeliling dunia, termasuk bermain bersama pianisRichard Claydermandi Gedung Putih,Washington, Amerika Serikat. Pada 2007 lalu, Hei A pernah melakukan konser piano tunggal diBalai Kartini Jakarta. Konser tersebut bagian dari program tur Hee Ah Lee ke beberapa negara di Asia Tenggara, dan dalam penampilannya di Indonesia, Hee Ah Lee membawakan musik klasik karya-karya komposer besar, sepertiChopin,Franz Schubert,Mozart, dan beberapa lagu pop seperti My Heart Will Go On, Love Story serta My May. Hei A dan ibunya, mengajarkan kepada banyak orang tentang arting penting perjuangan dan kesabaran. Kekurangan yang ada, tidak menjadikan seseorang untuk berhenti berharap dan mengubah keadaan di sekelilingnya, sekecil apapun perubahan itu. Kesabaran untuk terus mencoba, berlatih, dan obsesi yang tinggi untuk mencapai prestasi telah memberikan penghargaan yang tak ternilai bagi Hei A dan ibunya. Hei A, penderitasindrom down yang dulunya ditolak beberapa sekolah piano di Korea Selatan, kini menjadi pusat perhatian publik. Dengan keempat jari-jari kecilnya, Hei A terbukti telah membetot mata, telinga, dan rasa para penggemar alunan musik dari piano. Hee Ah Lee kini terkenal sebagai pianis 4 jari atau The Four Fingered Pianist.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun